Realitas dan Idealitas Politik Muhammadiyah
Realitas dan
Idealitas Politik Muhammadiyah
Akhir-akhir ini menjadi isu yang hangat dan
banyak diperbincangkan oleh berbagai awak media baik media televisi maupun
media cetak adalah terkait pembentukan kabinet pemerintahan Jokowi-JK. Sehingga
tidak dapat dipungkiri bahwa pembicaraan itu juga terjadi dalam tubuh
organisasi Muhammadiyah, berbagai perbincangan pun menjadi perbincangan yang
menarik perhatian banyak dari kader Muhammadiyah. Perbincangan itu sama
hangatnya dengan wacana dalam pemilihan presiden kemarin yang hanya memiliki
dua kandidat. Bahkan bukan hanya wacana tetapi muncul dalam tindakan, sehingga
Muhammadiyah menjadi terbelah dalam dua kubu antara RMI dan SMI. Pembelahan
menjadi dua kubu tersebut dalam Muhammadiyah terjadi pada RMI (Relawan Matahari
Indonesia) dan SMI (Surya Madani Indonesia), walaupun mereka secara kelembagaan
tidak membawa nama Muhammadiyah, tetapi secara individu mereka merupakan
kader-kader terbaik dari muhammadiyah yang konsen terhadap dunia Politik. RMI
merupakan bentukan dari Izzul Muslimin (Mantan Ketua Umum Pemuda Muhammadiyah)
dan Abd. Rohim Ghazali (Mantan SEKJEN Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah) yang
mendeklarasikan mendukung pasangan JKW-JK. Sedangakan SMI mendapat dukungan
dari tokoh Muhammadiyah sekaliber Amin Rais dan oleh Saleh Daulay menegaskan
kepada publik tentang dukungannya kepada pasangan Prabowo-Hatta. Bahkan jika
kita lihat bukan hanya Muhammadiyah saja, tetapi seluruh Indonesia masyarakatnya
menjadi terbelah dalam dua kubu. Tingkat kedewasaan politik masyarakat
Indonesia dalam sistem pemerintahan
demokrasi benar-benar di uji, apakah setelah keputusan MK akan terjadi konflik,
ataukah akan menjadi ajang budaya politik yang baru bagi Indonesia dalam
menunjukkan kedewasaan politiknya.
Ketika kita menelisik tentang bagaimana sikap
politik Muhammadiyah dalam PEMILU 2014, secara tertulis dapat kita lihat dalam
pidato milad Muhammadiyah ke-101, tertulis, "Muhammadiyah
mengajak pemerintah di seluruh tingkatan untuk semakin meningkatkan komitmen
dan kesungguhan dalam memajukan bangsa, disertai dengan sikap mengedepankan
keadilan dan kejujuran, berdiri di atas semua golongan, tidak partisan,
bermitra dengan seluruh komponen bangsa, dan mampu menunjukkan jiwa
kenegarawanan yang utama." Pidato diatas menegaskan dengan
setegas-tegasnya bahwa posisi dan peran Muhammadiyah dalam menyambut event
besar pergantian kepemimpinan Bangsa Indonesia. Muhammadiyah, sebagai bagian
dari civil society, memberi petuah kepada
para calon presiden yang akan menahkodai Indonesia 5 tahun kedepan. Bahwasanya
ketika mereka dipilih untuk menjadi pemimpin negara, maka pemimpin itu adalah
mereka yang senantiasa merasa gelisah jika tidak mampu bekerja secara optimal
dan senantiasa menjaga lisan dan perbuatan guna memakmurkan bangsa, dan
senantiasa ingin berbuat kebajikan setiap saat.
Dinamika perpolitikan bangsa yang selalu
mengalami perubahan, di ikuti pula dengan watak dasar Muhammadiyah dalam merespons
realitas politik yang ada. Dalam menyikapi realitas politik Muhammadiyah
relatif lebih mengedepankan sikap yang moderat, kooperatif, dan tidak menjadi
oposan. Menurut Maarif (1987: 66) dalam menghadapi setiap gelombang perubahan
politik, Muhammadiyah selalu berhati-hati dan bersikap lentur. Fenomena inilah
yang menyelamatkan Muhammadiyah dari sikap konfrontatif dengan kekuasaan
manapun, baik pada masa kolonial (penjajahan Belanda dan pendudukan Jepang)
hingga masa Orde Baru yang otoritarian. Hal ini berarti perilaku politik
Muhammadiyah lebih mengedepankan sikap yang moderat, meskipun tidak
meninggalkan sikap kritis.
Sejarah perjalanan bangsa Indonesia tidak
bisa di pungkiri bahwa Muhammadiyah ikut berperan serta dalam menentukan dasar
Negara Indonesia melalui Ki Bagus Hadikusumo. Tidak berlebihan jika menurut Taufik Abdullah (2001:17) sejarah
Muhammadiyah hanya mungkin dapat dipahami kalau ditempatkan dalam dinamika
hubungannya dengan masyarakat dan negara di Indonesia ini. Hal itu dapat kita
lihat dalam setiap periode kepemimpinan negeri ini selalu ada tokoh dari
Muhammadiyah yang menjadi menteri dalam kabinet pemerintahan. Pos mentri
pendidikan selalu menjadi jatah yang selalu diberikan untuk di kelola oleh
kader terbaik Muhammadiyah, hanya pada pemerintahan SBY-Boediono saja mentri
pendidikan menjadi jatah bukan kader Muhammadiyah. Dapat dikatakan bahwa selama
berjalannya pemerintahan Indonesia sejak awal kemerdekaan hingga saat ini,
periode SBY-Boediono lah yang paling buruk dalam pola hubungan Muhammadiyah dan
pemerintahan. Padahal jika kita melihat tokoh tokoh seperti Prof. Dr. Yahya
Muhaimin, Prof. Dr. Bambang Sudibyo, dan Prof. Dr. Malik Fajar yang
masing-masingnya pernah menjabat sebagai menteri dibidang pendidikan.
Tidak dapat dipungkiri bahwa keselarasan
antara Muhammadiyah dengan Negara akan membuat organisasi ini bisa melakukan
akselerasi dalam segala hal yang terkait dengan tujuan utama Muhammdiyah dalam
menciptakan masyarakat Madani. Tetapi di sisi lain keselarasan tersebut tidak
bisa didapat dengan begitu mudahnya tanpa ikut dalam keruhnya dunia politik
yang selama ini dalam tanda kutip Muhammadiyah main aman ketika di hadapkan
dengan kerasnya dunia politik praktis/politik kekuasaan. Terkait hal ini
pernyataan Pak A.R. Fakrudin dalam menggambarkan hubungan antara Muhammadiyah
dan Negara akan menjadi relevan dengan sikap politik Muhammadiyah.
“Muhammadiyah harus memiliki sifat yang moderat, tidak menjadi oposisi dan juga
tidak meminta-minta jabatan dalam pemerintahan”. Selama ini Muhammadiyah selalu
memproduksi orang-orang yang memiliki kapasitas untuk mengisi pos-pos tertentu
dalam pemerintahan. Dan bukan menjadi hal yang tabu lagi ketika pembagian
antara pos kementrian pendidikan dan kementrian agama selalu menjadi jatah atau
given untuk kedua Ormas Islam
terbesar di Indonesia ini yaitu Nahdhatul Ulama dan Muhammadiyah.
IndoStrategi dalam penelitiannya mensurvei
dari 50 PD Muhammadiyah, 30 PW Muhammadiyah dan 20 PP Muhammadiyah menyatakan
bahwa 95 persen orang Muhammadiyah setuju bahwa kementrian pendidikan di pegang
oleh kader Muhammadiyah. Sedangkan hanya 3 persen yang tidak setuju dan 2
persennya abstain, dari data ini menunjukkan bahwa elite-elite Muhammadiyah
baik di PP, PW dan PD menghendaki adanya kader terbaik Muhammadiyah yang
menjadi wakil atau representasi dalam pemerintahan. Berdasarkan rekomendasi
dari Kabinet alternatif Usulan Rakyat (KAUR) Jokowi Center dan Relawan Matahari
Indonesia (RMI) Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan di sebut sebagai tokoh dari Muhammadiyah
yang mempunyai kapabilitas untuk menjadi Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.
Dari usulan tersebut IndoStrategi menanyakan hal tersebut kepada para responden
dan 79 persen mengatakan setuju jika Prof. Dr. Abdul Munir Mulkhan menjadi
menteri pendidikan, hanya 19 persen yang tidak setuju serta 2 persen yang
abstain. Dan ketika para elite Muhammadiyah tersebut di tanya tentang tokoh
alternatif dalam Muhammadiyah yang mampu menduduki pos Kementrian pendidikan
muncul nama Muhadjir Effendi pada urutan kedua setelah Abdul Munir Mulkhan,
diurutan ketiga ada Bambang Setiadji dan keempat ada Suyanto. Namun apakah
dalam pemerintahan kedepan pos Kementrian pendidikan akan menjadi milik kader
Muhammadiyah, hal itu dapat kita lihat dalam sebulan kedepan, dan ketika pos
tersebut tidak menjadi milik Muhammadiyah akan menarik untuk kita amati apa
yang akan di lakukan oleh Muhammadiyah ?
Dari data diatas menunjukkan bahwa
elite-elite Muhammadiyah baik di PP, PW dan PD memiliki keinginan yang mendalam
bahwa pentingnya seorang kader dari Muhammadiyah untuk dapat mengisi POS
kementrian pendidikan yang selama ini sudah, atau bisa di bilang selalu menjadi
pos nya Muhammadiyah. Dalam kaitannya ini penulis ingin mengatakan bahwa antara
idealitas dan realitas politik Muhammadiyah mengalami dilematis, disatu sisi
mereka menginginkan kader-kader terbaik mereka menduduki posisi strategis dalam
pemerintahan guna melakukan akselerasi tujuan tujuannya, tetapi di sisi lain
Muhammadiyah masih enggan untuk secara terang-terangan dan secara kelembagaan
mendukung salah satu partai atau bahkan ikut bertarung dalam perebutan kekuasaan politik. Politik dilematis
Muhammadiyah juga dapat terlihat ketika dalam Pencalonan DPD (Dewan Perwakilan
Daerah) Muhammadiyah secara terang-terangan mendukung secara kelembagaan,
tetapi mengapa ketika ada Kader Muhammadiyah yang mencalonkan anggota DPR tidak
mendapatkan dukungan penuh dari Muhammadiyah. Padahal kita ketahui bahwa posisi
DPD dalam Parlemen kita tidak mempunyai kekuatan politis yang bisa di dengar suaranya
dalam sidang Paripurna.
Berbagai realitas diatas lah yang
menjadikan penulis merasa bahwa antara idealitas Muhammadiyah sebagai gerakan
sosial keagamaan yang membatasi secara kelembagaan untuk tidak ikut-ikut dalam
politik praktis, tetapi jika kita lihat secara kelembagaan Muhammadiyah juga
selalu bersinggungan dengan negara dalam mengurus semua amal usaha
Muhammadiyah. Jika dalam idealitas Muhammadiyah tidak ikut-ikut dalam politik
kekuasaan tetapi dalam realitas Muhammadiyah menginginkan Kader terbaiknya
menjadi menteri, padahal seperti kita ketahui pos pos menteri akan bisa di
dapat dengan dukungan politik secara riel dengan angka-angka suara dalam
pemilu. Jika dalam idealitas Muhammadiyah menjaga jarak dengan partai politik,
tetapi mengapa ketika ada kader nya yang menjadi anggota DPR, banyak cemoohan
bagi para anggota DPR yang keder Muhammadiyah tersebut ketika seolah terlalu
sibuk dengan keangotaannya sebagai dewan dan kendur dalam mengurusi
Muhammadiyah. Dari kenyataan diatas penulis merekomendasikan bahwa pengkaderan
Politik dalam Muhammadiyah harus menjadi hal yang perlu di prioritaskan,
mengingat banyak dari kader Muhammadiyah yang memiliki ketertarikan yang kuat
untuk terjun dalam dunia politik praktis. Dan jika kita melihat realitas
sekarang ketika sudah banyak kader Muhammadiyah yang menjadi anggota DPR, DPRD,
DPD maka perlu ada kesatuan misi dan visi yang kuat untuk menunjukkan
kepribadian Muhammadiyahnya hingga di level pemerintahan dan politik kekuasaan.
Teringat dengan kata-kata Ustadz Feri Yudi Antonis “Hidup ini antara diwarnai
dan mewarnai, jika engkau tidak mewarnai maka akan diwarnai, choose and take a risk”. Mungkin ini lah
yang dapat di lakukan oleh para kader Muhammadiyah baik yang ada di luar
pemerintahan ataupun yang ada dalam pemerintahan, mengingat Amal Usaha
Muhammadiyah saat ini sudah semakin menggurita seantero Indonesia. Sebagai
Kader Muhammadiyah banyak yang dapat kita lakukan baik dari dalam tubuh
Muhammadiyah atau berada di luar tubuh Muhammadiyah, dalam mengimplementasikan
petuah Ahmad Dahlan “Hidup-hidupilah Muhammadiyah dan jangan mencari Hidup di
Muhammadiyah”.
Komentar