Memutar Logika Filosofis Kader Muhammadiyah
Memutar Logika Filosofis Kader Muhammadiyah
Jika selama ini diskursus dalam Muhammadiyah dalam melakukan
perkaderan menggunakan filosofi kader persyarikatan, kader umat dan kader
bangsa, maka perlu ada pembalikan filosofis tersebut secara radikal. Buya
Syafii Maarif mengatakan bahwa seharusnya filosofi dalam melakukan perkaderan
dalam muhammadiyah adalah dengan menjadikan para kader-kader Muhammadiyah
tersebut sebagai kader kemanusiaan, kader bangsa, kader umat, dan baru menjadi
kader persyarikatan. Kesimpulan seperti ini dapat kita lihat dari banyaknya
fenomena yang menggunakan Muhammadiyah sebagai batu loncatan untuk terjun dalam
politik praktis. Meskipun telah diketahui oleh semua orang bahwa
Muhammadiyah terlahir sebagai gerakan sosial-keagamaan, tetapi dalam
perjalanannya Muhammadiyah tidak pernah bisa menghindar dari politik. Pandangan
Muhammadiyah terkait tentang bagaimana peran politik dalam kebangsaan mengalami
dinamika pasang surut.
Sejak awal berdiri Muhammadiyah selalu
terlibat dalam dunia perpolitikan dengan turut mendorong dan memperjuangkan
kemerdekaan Indonesia dengan melancarkan politik anti-kolonialisme yang digagas
oleh Ahmad Dahlan. Setelah Indonesia mendapatkan kemerdekaanya banyak tokoh
Muhammadiyah yang terlibat dalam proses perumusan pembukaan serta batang tubuh
Undang-Undang Dasar 1945. Dalam periode selanjutnya Muhammadiyah juga turut mempelopori
lahirnya Partai Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) bersama organisasi
Islam lainnya. Setelah Masyumi bubar pada 1960, tokoh Muhammadiyah turut
membentuk Partai Muslimin Indonesia (Parmusi). Beberapa literasi menyebutkan,
Parmusi adalah salah satu ijtihad yang dihasilkan dalam Sidang Tanwir
Muhammadiyah di Ponorogo, Jawa Timur, pada 1969 yang dikenal dengan Khittah
Ponorogo. Persyarikatan memutuskan dakwah amar makruf nahi mungkar (mendorong
kebaikan dan mencegah keburukan) melalui jalan kemasyarakatan dan politik
kenegaraan. Tetapi dalam perjalanannya Parmusi tidak bertahan lama karena hanya
memperoleh sedikit dukungan dari kalangan Muhammadiyah. Muhammadiyah kemudian
memutuskan untuk kembali fokus sebagai gerakan dakwah Islam yang bergerak dalam
bidang kemasyarakatan dan kemanusiaan. Muhammadiyah tidak memiliki hubungan
organisatoris dan tidak berafiliasi dengan partai atau organisasi apa pun.
Keputusan itu dirumuskan dalam muktamar ke-38 di Ujung Pandang (sekarang
Makassar) pada 1971. Sejak itulah Muhammadiyah secara organisatoris mengambil
jarak dengan partai politik.
Sikap politik warga Muhammadiyah kembali
berubah pasca-reformasi karena Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah M Amien
Rais mendirikan Partai Amanat Nasional (PAN). Banyak kader Muhammadiyah yang
kembali terlibat dalam politik praktis. Bahkan, pada Pemilu 2004, Muhammadiyah
mendorong Amien mencalonkan diri sebagai presiden. Kemudian menjelang Pemilu
2009, Ketua Umum PP Muhammadiyah Din Syamsuddin dicalonkan sebagai presiden
oleh Partai Matahari Bangsa (PMB) yang mengklaim sebagai anak ideologis dan
biologis Muhammadiyah. Din Syamsudin pun disebut-sebut mendorong dan mendukung
sejumlah kader muda Muhammadiyah untuk mencalonkan diri sebagai anggota
legislatif dari PMB. Dorongan agar Muhammadiyah mengambil peran dalam politik
muncul lagi dalam muktamar ke-46 di Yogyakarta. Sejumlah kader Muhammadiyah
mewacanakan suksesi kepemimpinan bangsa pada 2014. Dinamika perpolitikan
Muhammadiyah pun terlihat dalam Pemilu 2014 kemarin, yang dalam internal
Muhammadiyah muncul RMI dan SMI, yang kemunculannya merupakan bentukan
kader-kader Muhammadiyah dalam mendukung calon presiden masing-masing.
Muhammadiyah dalam perjalanannya tidak
memiliki sebuah sikap yang tetap dalam mengikuti perubahan kepemimpinan dalam
kondisi bangsa ini. Dengan kondisi tersebut Muhammadiyah ke depan adalah
politik tingkat tinggi atau politik adiluhung seperti yang dilakukan
Muhammadiyah saat dipimpin Amien Rais pada masa pemerintahan Orde Baru.
Artinya, Muhammadiyah tak terlibat dalam politik perebutan kekuasaan, tetapi
menjadi mitra korektif konstruktif bagi pemerintah sebagai implementasi gerakan
dakwah amar makruf nahi mungkar. Kekritisan Muhammadiyah penting, mengingat
saat ini suara masyarakat tak terwakili sepenuhnya dalam politik formal yang
dijalankan partai. Wakil rakyat yang duduk di lembaga legislatif tidak
sepenuhnya mencerminkan kehendak rakyat karena banyak di antara mereka yang
terpilih dengan mengandalkan uang atau mesin partai.
Fokus tulisan ini ingin mengarahkan para
pembaca agar mengevaluasi filosofi perkaderan kita, dari yang awalnya membentuk
kader persyarikatan baru menuju kader bangsa dan kemanusiaan. Dengan logika
berpikir seperti itu banyak sekali sesat pikir dari para kader, sehingga banyak
dari mereka menggunakan Muhammadiyah sebagai batu loncatan untuk terjun kepada
politik praktis. Padahal seperti kita ketahui bahwa dunia politik kekuasaan
begitu kejam dan sarat dengan intrik-intrik, ketika landasan pertama yang
tertanam dalam jiwa kader-kader itu adalah kader persyarikatan maka akan muncul
jiwa-jiwa yang hanya berfikir pada persyarikatan Muhammadiyah. Dan hal tersebut
akan mendapat tantangan dari Muhammadiyah secara kelembagaan yang menolak
adanya intervensi politik praktis dalam tubuh Muhammadiyah. Sehingga ketika
terjadi benturan itulah banyak kader Muhammadiyah yang ketika mereka masuk
kedalam dunia politik praktis tidak memiliki landasan yang kokoh dalam
menghadapi kerasnya dunia politik Kekuasaan. Sifat-sifat kritis mereka akan
hilang berganti dengan sikap individualis, yang akan mementingkan kepentingan
mereka untuk mengukuhkan kekuasaan mereka pada pemilu mendatang.
Dari kondisi kader Muhammadiyah diatas
maka dalam pandangan Buya Syafii Maarif perlu adanya pemutar balikan filosofi
perkaderan Muhammadiyah secara radikal. Penempatan kader kemanusiaan pada
posisi pertama, kemudian kader bangsa, di ikuti dengan kader umat, baru setelah
itu kader persyarikatan (Maarif, XVIII : 2010). Patutnya kita sadari mengapa
posisi kader kemanusiaan di letakkan sebagai pondasi dasar dalam pengkaderan
Muhammadiyah adalah sebagai pencerminan dari misi Islam yang memposisikan
dirinya “rahmat bagi alam semesta”.
Ketika kita berkaca pada awal pendirian Muhammadiyah maka hal pertama yang
dikerjakan oleh Ahmad Dahlan adalah misi-misi kemanusiaan, dengan memberikan
pendidikan pada anak-anak yatim dan gelandangan, serta memberikan mereka
kehidupan yang layak. Dengan aksi nyatanya tersebut Ahmad Dahlan memperkuat
organisasi Muhammadiyah, baru setelah itu beliau melebarkan sayapnya dalam bidang pendidikan dan hingga beliau
sampai memiliki hubungan yang akrab dengan tokoh-tokoh SI, Boedi Oetomo dalam
bidang politisnya. Keder Muhammadiyah dengan menggunakan paradigma kemanusiaan
sesungguhnya telah mengamalkan teologi al-maun yang selama ini di klaim sebagai
ayat yang mengilhami berdirinya Muhammadiyah. Melihat Indonesia pada saat ini
banyak manusia yang hanya denngan perbedaan dalam hal agama, suku, ras bahkan
hanya berbeda organisasi saja mereka enggan untuk menolong satu sama lainnya.
Seruan Islam sebagai agama “rahmatal lil
alamin” harus terbumisasikan jangan hanya menjadi ajaran yang menggelayut
dilangit saja. Semua itu dapat terbumisasikan dalam realitas kehidupan apabila
kader-kader diletakkan dalam dirinya sebagai kader kemanusiaan bukan hanya
sebagai kader golongan tertentu.
Dari posisi sebagai kader kemanusiaan kita
turunkan selangkah lagi menuju kader bangsa, karena sebagai kader Muhammadiyah
yang hidup dan bernafas dalam lingkup teritori negara bangsa bernama Indonesia.
Sebagai kader bangsa yang hidup dalam lingkup yang sangat pluralistik maka
posisi keagamaan para pemeluknya akan merepresentasikan agama yang dianutnya.
Sebagai kader bangsa inilah kader-kader Muhammadiyah dituntut untuk cerdas
dalam melihat fenomena-fenomena kemasyarakatan yang ada. Ambil contoh dalam
melihat fenomena kemiskinan, kader Muhammadiyah tidak bisa begitu saja dengan
menganggap fenomena ini sebagai fenomena kemanusiaan belaka, tanpa melihat apa
yang menjadi penyebab kemiskinan tersebut.
Jika kita gunakan kacamata kebangsaan maka posisi kader muhammadiyah dalam
mengentaskan kemiskinan bisa melalui advokasi kebijakan-kebijakan pemerintah
agar bisa pro kerakyatan. Mengingat posisi organisasi sosial keagamaan memiliki
tingkat kepercayaan dari masyarakat lebih tinggi di bandingkan dengan partai
politik, maka Muhammadiyah sebagai gerakan Islam harus menjadi garda terdepan
dalam mengontrol dan mengarahkan kebijakan-kebijakan pemerintah agar pro-rakyat
miskin. Dalam kondisi seperti saat ini, Muhammadiyah harus mampu mencerdaskan
kehidupan bangsa Indonesia dalam hal politik sehingga masyarakat yang selama ini
hanya sebagai objek politik mampu untuk menjadi subjek dan pemeran utama dalam
dinamika perpolitikan bangsa. Semangat ini sejalan dengan semangat teologi al
maun dalam ayat : 3 yang melarang untuk melakukan pembiaran terhadap fakir
miskin.
Dari posisi kader bangsa, tidak dapat kita
pungkiri bahwa kita berada dalam lingkungan umat yang sangat beragam dan
masing-masing memiliki ciri khasnya sendiri-sendiri. Kenyataan ini merupakan
ayat-ayat kauniyah dari Alloh bahwa Dia anti-keseragaman, ini menunjukkan bahwa
ketika manusia itu seragam maka akan memiliki wawasan dan ilmu yang sempit.
Maka dari itu Alloh ciptakan berbagai macam perbedaan, supaya itu menjadi
rahmat bagi alam semesta. Dari sini dapat kita katakan bahwa dengan memahami
bahwa kita adalah manusia yang memiliki keunikan dalam hal-hal tertentu dengan
segala kekurangan dan kelebihan itu maka akan terciptalah kader-kader yang
tidak bersifat fanatik dan memiliki wawasan keberagaman yang tinggi hingga
memunculkan semangat toleransi terhadap sesama. Jika dikaitkan dengan semangat
al-maun maka hal ini tercermin dalam ayat yang menyatakan celakalah orang-orang
yang sholat, banyak manusia yang tidak belajar dari sholatnya. Jika kita lihat
sedikit saja aspek gerakan sholat maka kita akan melihat adanya semangat
egaliter, dan dari gerakan sholat kita juga bisa belajar bahwa masing-masing memiliki
gerakan yang berbeda-beda berdasarkan keyakinannya masing-masing.
Setelah kondisi ketiga payung tersebut
diatas tertanam dalam jiwa masing masing kader Muhammadiyah barulah mereka di
tanamkan untuk menjadi pelangsung dan penyempurna amal usaha Muhammadiyah. Dari
logika perkaderan diatas maka, menjadi apapun kader tersebut akan memiliki
landasan berpikir yang kokoh, di bawah payung kemanusiaan, kebangsaan dan
keumatan maka ketika mereka berkerja untuk persyarikatan akan memiliki semangat
untuk memperjuangkan tujuan utama muhammadiyah melalui caranya masing-masing
untuk menciptakan masyarakat yang utama.
Komentar