Local Strongmen, Study Kasus H. Tb. Chassan Sohib
Pendahuluan
Dalam
menganalisis interaksi kekuasaan antar elit politik di tingkat lokal terutama
di perkotaan ada beberapa kesamaan pandangan tentang kekuasaan dianggap relevan.
Setidaknya ada dua hal yang harus dianalisis. Pertama, aktivitas politik setiap
elit atau kelompok elit dalam memperebutkan sumber-sumber, posisi, dan jabatan
yang langka dalam masyarakat. Kedua, dalam memperebutkan kekuasaan politik,
elit atau kelompok elit akan menghadapi dua kondisi, yakni konflik atau
konsensus. Di satu sisi, elit akan menghadapi perbedaan, persaingan, dan
pertentangan dengan elit politik lainnya. Namun, di sisi lain juga memungkinkan
terjadinya kerjasama atau konsensus di antara elit politik. Terjadi
tawar-menawar antar elit politik yang saling menguntungkan, sehingga kebutuhan
dan kepentingan setiap elit politik terakomodasi.
Aspek
fisik karena para pimpinan organisasi pemuda itu sering sekali menggunakan
senjata sebagai kekuatan ancaman terhadap orang lain (premanisme). Dari sisi
ekonomi, kekuasaan diperoleh dengan memberikan pekerjaan kepada para pemuda
yang tidak memiliki pekerjaan sebagai penjaga keamanan, petugas parkir atau
sebagai penjual lotre (perjudian) seperti KIM, togel dan lain sebagainya.
Fenomena tersebut hampir mirip dengan teori local strongmen yang dikemukakan
oleh Migdal serta teori John T. Sidel tentang bossism.
Konsep Local Strongman (Joel S. Migdal)
Jika
merujuk pada Migdal tentang kemunculan local strongmen, salah satu
sumber-sumber kekuasaan yang dimiliki diantaranya adalah dari kekayaan yang
dimiliki oleh pimpinannya sebagai tuan tanah atau orang kaya.[1] Migdal
mencoba menerangkan tentang orang kuat lokal yang berhasil melakukan kontrol
sosial. Dalam konteks ini, Migdal mengatakan:
”...
Mereka berhasil menempatkan diri atau menaruh anggota keluarga mereka pada sejumlah
jabatan penting demi menjamin alokasi sumber-sumber daya berjalan sesuai dengan
aturan mereka sendiri ketimbang menurut aturan-aturan yang dilontarkan dalam
retorika resmi, pernyataan kebijakan, dan peraturan perundang-undangan yang
dibuat di ibu kota atau dikeluarkan oleh pelaksana peraturan yang kuat”.[2]
Mengenai
fenomena orang kuat lokal tersebut, Migdal memiliki tiga argumentasi yang
saling berkaitan. Pertama, orang kuat lokal tumbuh subur di dalam masyarakat
”mirip jaringan” yang digambarkan sebagai ”sekumpulan campuran (melange)
organisasi-organisasi sosial nyaris mandiri” dengan kontrol sosial yang efektif
”terpecah-pecah”. Pola kontrol sosial khusus terpecah-pecah ini, menurut
dugaan, acapkali diakui melebur dalam pemerintahan kolonial dan penyatuannya di
dalam perkuburan kelas-kelas pemilik tanah besar. Singkat kata, berkat struktur
masyarakat mirip jaringan, orang kuat lokal memperoleh pengaruh signifikan jauh
melampaui pengaruh para pemimpin negara dan para birokrat lokal yang
digambarkan Migdal sebagai ”segitiga penyesuaian”.[3]
Kedua,
orang kuat lokal melakukan kontrol sosial dengan menyertakan beberapa komponen
penting yang dinamakan ”strategi bertahan hidup” penduduk setempat. Dengan
kondisi seperti itu, orang kuat bukan saja memiliki legitimasi dan memperoleh
banyak dukungan di antara penduduk lokal, tetapi juga hadir untuk memenuhi
kebutuhan pokok dan tuntutan para pemilih atas jasa yang diberikan. Para
penulis yang diilhami Migdal cenderung membingkai diskusi mereka dengan istilah
”personalisme”, ”klientisme”, dan ”hubungan patron-klien”. Pola ini kemudian
juga terjadi karena orang kuat lokal ditempatkan sebagai patron yang memberi
kebaikan personal bagi klien yang melarat dan para pengikut di daerah kekuasaan
mereka.
Ketiga,
berhasilnya orang kuat lokal ”menangkap” lembaga-lembaga dan sumber daya negara
merintangi atau menyetujui upaya pemimpin negara dalam melaksanakan pelbagai
kebijakan. Orang kuat lokal membatasi otonomi dan kapasitas negara, penyebab
kelemahan negara ”dalam menjalankan tujuan berorientasi perubahan sosial, serta
memperbesar ketakterkendalian dan kekacauan. Sepanjang keberhasilan strategi
industrialisasi dan pertumbuhan amat tergantung pada penyusunan dan pelaksanaan
kebijakan negara yang saling bertautan efektif.
Konsep Local Bossism ( John T. Sidel)
Berbeda
dengan Migdal, Sidel melihat bahwa fenomena yang disebutnya sebagai Bosisme
merefleksikan strong state dibandingkan strong society. Ia melihat bosisme
menunjukkan peran elit lokal sebagai predatory broker politik yang memiliki
kontrol monopolistik terhadap kekuatan koersif dan sumber daya ekonomi dalam wilayah
teritorial mereka. Bosisme beroperasi dalam bayangan rezim daerah yang
dicirikan oleh persekutuan birokrat, bos-bos partai, pengusaha, militer, dan
preman.[4]
Berkembangnya
bossism lokal tersebut di sisi lain menunjukkan ketiadaan salah satu
nilai-nilai demokrasi yang hendak dicapai dengan penerapan kebijakan
desentralisasi, yaitu political equality. Konsep ini menyangkut tiga macam
hubungan yaitu antarpemerintah (intergovernmental relation), antara negara dan
masyarakat (state society relation); dan antara masyarakat dan masyarakat
(society-society relation). Hubungan antarpemerintah meliputi kesetaraan
antarlevel pemerintahan, baik secara vertikal maupun horizontal, dalam
kewenangan mengatur dan mengurus. Penyelenggaraan pemerintahan daerah akan
semakin kuat jika ada kesetaraan antara kewenangan dengan sumber keuangan yang
dimiliki, kejelasan kewenangan antarberbagai tingkat pemerintahan, dan
sebagainya. Hubungan antarnegara dan masyarakat merupakan refleksi dari daya
tawar masyarakat terhadap berbagai keputusan yang diambil lembaga pemerintahan.
Tabel Perbandingan: Kerangka Teori
Migdal dan Sidel tentang Kemunculan Local Strongmen dan Bossism
Variable/Indikator
|
Migdal
|
Sidal
|
Terminologi
|
Local
Strongman
|
Local
Bossism
|
Keadaan
Sosio-Kultural
|
Negara-Negara
Yang Baru Merdeka
|
Semua
negara dan semua tempat di mana sesuatu yang sangat dibutuhkan masyarakat
langka
|
Sumber
Legitimasi
|
Figuritas
dan Mistis
→ Memfigurkan dan memistikan seseorang dengan jalan memberikan hal-hal yang dibutuhkan masyarakat seperti: 1. tempat tinggal 2. makanan 3. hubungan sosial, & 4. Perlindungan |
Figuritas
dan Kewibawaan
→ Memfigurkan kewibawaan dan figuritas dilakukan dengan cara: 1. menguasai modal 2. tekanan 3. Kejahatan |
Posisi
Negara
|
Lemah
|
Kuat
|
Alasan
terbentuk
|
Struktur
masyarakat yang fragmentasi
|
Sengaja
diciptakan/ dilindungi oleh negara
|
Peranan
|
Kebanyakan
sebagai musuh pemerintah pusat karena kepentingannya selalu berseberangan
dengan para local strongmen
|
Kebanyakan
sebagai broker pemerintah pusat. Kepentingan keduanya selalu bertemu dan
saling mengambil keuntungan.
|
Aktor
|
Tuan
tanah, orang kaya, pemimpin tradisional
|
Birokrat,
tentara, pengusaha, orang kaya, dan semua orang yang menguasai sebuah arena
di dalam masyarakat itu sendiri.
|
Industrialisasi
|
Menghambat
|
Mempercepat
|
Hasil
keberadaan local strongmen/bossism
|
1.
legitimasi
2. dukungan 3. kebutuhan → ketergantungan 4. hubungan patron-klien |
1.
legitimasi
2. dukungan 3. ketergantungan 4. ketakutan 5. hubungan patron-klien |
H. Tb. Chassan Sohib Local
Strongmen atau Local Bossism ???
Kultur
budaya dan tradisi masyarakat Banten yang melahirkan entitas Jawara sebagai
produk kultur budaya lokal, menampilkan suatu hal yang berbeda dengan
daerah-daerah lainnya di Indonesia. Islam sebagai agama dan sekaligus tradisi
bagi masyarakat lokal setempat, berperan besar dalam melahirkan eksistensi
jawara banten. Dalam kultur budaya jawara, rasa solidaritas sangat di junjung
tinggi, selain itu juga rasa ikatan emosional dan kekeluargaan tetap di
pelihara bersama, dengan semboyan “seguru
seelmu” merupakan pengejawantahan bahwa kalangan jawara Banten merupakan
sebuah keluarga besar. Perkembangan budaya jawara banten mengalami perkembangan
dalam sejarah, masa klasik adalah ketika seorang jawara hanya berperan sebagai
tokoh pemimpin tradisional, sampai pada masa modern dimana terjadi mobilitas
sosial vertikal di kalangan jawara Banten. Dalam suatu komunitas kelompok dalam
masa tertentu pasti terdapat sosok pembawa perubahan agen of change, yang memiliki pengaruh dan peranan besar dalam
membawa kelompok tersebut menuju masa keemasan. Komunitas kelompok jawara di
Banten sosok agen perubahan tersebut adalah tokoh ketua jawara Banten H. Tb.
Chasan Sohib yang memiliki pengaruh sangat signifikan dalam kalangan komunitas
jawara Banten.
Budaya
jawara yang ada di Banten membuat H. Chassan menjadi seorang Local Strongmen
dalam analisanya Migdel, ini sesuai dengan kondisi Indonesia yang sangat
menghormati dan menghargai seorang kyai. Sejak jaman kolonial jawara telah
memainkan peran sebagai orang yang berjasa dalam merebut kemerdekaan, begitu
juga seorang H. Chassan muda juga ikut dalam berbagai perjuangan kemerdekaan
dalam melawan Belanda. Dengan sosok Jawara di Banten yang begitu kharismatik
maka H. Chassan mendapatkan legitimasi karena sosok jawara merupakan sosok yang
berada di pihak rakyat dan selalu memberikan perlindungan dan memiliki ikatan
emosional yang kuat dengan masyarakat.
Sosok
H. Chasan yang sangat fenomenal, telah berhasil menyatukan dan mengorganisir
jawara-jawara Banten dalam wadah keorganisasian. Dengan kemampuanya beradu ilmu
kesaktian, ia mampu menundukkan satu persatu kalangan jawara, maka ia sering di
sebut sebagai jawaranya jawara,
sehingga ia menjadi tokoh penting dan ketua pemimpin dari kalangan jawara di
Banten. H. Chasan di anggap sebagai tokoh ketua pemimpin jawara yang sangat
ideal karena memiiki latar belakang dari pesantren, memiliki keberanian dan
kekuatan yang menonjol di kalangan teman-temannya dan ia juga belajar menjadi
pengusaha sejak muda. Ia adalah seorang pendiri dan Ketua Umum Kamar Dagang dan
Industri (KADIN) Banten, pendiri dan Ketua SAKTAR Ulama Indonesia, Ketua
Persatuan Padepokan Persilatan Seni dan Budaya Indonesia (PPPSBBI), pendiri
Universitas Sultan Ageng Tirtayasa, dan banyak posisi penting dalam organisasi
lainnya. Ia merupakan tokoh yang sangat berpengaruh di Banten, ini dapat di
lihat dari keberhasilannya menduduki jabatan ketua organisasi dan politik,
termasuk PPPSBBI sebagai wadah komunitas jawara Banten. Bahkan H. Chasan
sendiri sering di sebut sebagai Gubernur Jendral, sebagai julukan titel
penguasa tertinggi karena kemampuannya dalam mengendalikan kekuasaan politik,
dan ekonomi di wilayah Banten. Salah satu keberhasilan H. Chasan menjadi
seorang pengusaha, karena ia merupakan seorang jawara yang cukup di segani,
pengaruh kejawaraan dan jaringan yang ia bangun pada masa berkelana membantu ia
dalam meraih kesuksesannya dalam berbisnis. Karir bisnisnya mulai maju pada
awal tahun 1967an, saat mendapatkan proyek memfasilitasi bahan pangan beras dan
jagung dari lampung, guna kepentingan logistik Kodam VI Siliwangi.
H.
Chasan bukan merupakan orang baru di Banten, ia merupakan tokoh yang memiliki
hubungan baik dengan pemerintahan karena dia mempunyai massa yang sangat banyak
terutama dari kalangan jawara. Ia merupakan tokoh yang berada di luar lembaga
formal pemerintahan tapi mampu menciptakan sebuah pemerintahan bayangan (Shadow State)[5]. Sosok
H. Chassan yang merupakan seorang jawara dan juga salah seorang politisi Golkar
pada masa ORBA, mampu mempengaruhi dan memainkan peran dalam menentukan
kemenangan anaknya Hj Ratu Atut Choiriyah menjadi wakil Gubernur pada
2001-2006. Pada masa pemilihan Gubernur berlangsung di gedung parlemen banyak
para jawara yang berbaju hitam berkeliling di sekitar gedung parlemen. Secara psikologis
ini merupakan sebuah ancaman bagi para anggota parlemen ketika tidak
memenangkan Atut yang notabene adalah anak dari H. Chassan.
H.
Chasan merupakan pelopor terjunnya jawara kedalam aleansi bisnis dalam skala
besar, yang dimulai pada awal Orde Baru yakni permulaan Pelita I. Karena kedekatan
H. Chasan dengan pemerintah pusat pada zaman Orde baru, dimulai pada rezim inilah
bisnis para jawara memonopoli fasilitas proyek-proyek pemerintah di daerah
Banten. Perlu di ingat bahwa tokoh jawara H. Chasan lah yang memfasilitasi
kalangan jawara Banten dalam meraih proyek-proyek tender di Banten. Oleh karena
itu, langkah awal H. Chasan sebagai seorang bisnisman, ternyata di ikuti oleh
jawara-jawara lainnya. Kontribusi besar yang di berikan H. Chasan adalah,
merubah image dan kehidupan sosial para jawara yang dahulunya di kenal tidak
memiliki penghasilan, dan hanya berkuasa atas lingkungan pedesaan menjadi para
jawara yang meraih kesejahteraan. Para jawara juga mengalami mobilitas vertikal
denngan mendominasi penguasaan sumber ekonomi dan politik dalam pemerintahan. Posisi
dan peranan H. Chassan sebagai tokoh jawara memang sulit di tandingi, oleh
karena itu beliau merupakan tokoh yang berperan sentral dalam kelompok jawara
dan terkenal sebagai The Godfather.
Dari
berbagai data di atas maka dapat di simpulkan bahwa H. Chassan merupakan Local
Strongman yang mendapat legitimasi kekuatan politik dari ketokohannya menjadi
seorang jawara. Dengan kekuatan itu ia mencoba mempengaruhi kekuatan-kekuatan
formal politik dengan memasukkan Ratu Atut sebagai Wakil Gubernur pada awalnya
hingga menjadi Gubernur hingga sekarang, ini tidak lepas dari peran H. Chassan
sebagai seorang jawaranya jawara yang
sangat disegani di Banten. Melalui pembentukan Shadow State itu H. Chassan untuk memperkuat dan memperkokoh status
ekonominya melalui perusahaan-perusahaan kontraktor yang menjadi mitra utama
dalam proses pembangunan di Banten. Kedekatan H. Chassan dengan penguasa
politik formal membuat ia bisa menguasai aset-aset sumber daya yang ada di
banten, khususnya aset-aset pembangunan sehingga itu meruupakan keuntungan bagi
dia dalam melanggengkan kekuatan politik dinastinya di Banten. Dalam kasus ini H.
Chassan merupakan tokoh di balik layar yang memainkan peran dari semua kegiatan
politik yang ada di banten, titik tekan dari kasus ini adalah pada kekuatan
jawara yang di milikinya. Sehingga ia dapat dikategorikan sebagai Local
Strongmen.
Refrensi
Harriss,
John, Kristian Stokke, Olle Tornquist. 2005. Politisasi Demokrasi : Politik Lokal Baru. Jakarta : DEMOS.
Hidayat,
Syarif. 2007. Shadow State....? Bisnis
dan Politik di Provinsi Banten, dalam Politik Lokal di Indonesia karya Henk
Schulte Nordholt dan Gerry van Klinken di bantu oleh Ireen Karang-Hoogenboom,
Jakarta : Yayasan OBOR Indonesia.
Migdal,
1998. Strong Societies and Weak States:
State Society Relations and State Capabilities in the Third World. New
Jersey: Princenton University Pres
Sidel.
1999. Capital, Coercion, and Crime:
Bossism in the Phillipines. Stanford California: Stanford University Press.
Sidel,
John T. Capital, Coercion, and Crime:
Bossism in the Philippines Review by Benedict J. Tria Kerkvliet. The
Journal of Asian Studies, Vol. 61, No. 4 (Nov., 2002), pp. 1440-1442
[1]
Lihat Joel S. Migdal. 1988. Strong Societies and Weak States: State-Society
Relations and State Capabilities in the Third World. New Jersey: Princenton
University Press. hal. 13.
[2] Sidel,
John T. Capital, Coercion, and Crime:
Bossism in the Philippines Review by Benedict J. Tria Kerkvliet. The
Journal of Asian Studies, Vol. 61, No. 4 (Nov., 2002), pp. 1440-1442
[3] Migdal.
Op. Cit., hal. 238-258.
[4] John T.
Sidel. Bosisme dan Demokrasi di Filipina,
Thailand dan Indonesia, Menuju Kerangka Analisis Baru Tentang “Orang Kuat Lokal”
dalam Politisasi Demokrasi Politik Lokal Baru. Hal 72.
[5] Syarif
Hidayat, Shadow State....? Bisnis dan
Politik di Provinsi Banten, dalam Politik Lokal di Indonesia. Hal.267
Komentar