“Recall dari Rakyat Sebagai Cara Untuk Meningkatkan Rendahnya Akuntabilitas Anggota DPR Kepada Konstituennya dalam Sistem Demokrasi Perwakilan Di Indonesia”
Pada era sekarang ini telah terjadi krisis demokrasi
perwakilan yang serius dalam praktik politik di Indonesia. Krisis
yang ditandai dengan semakin tidak dipercayanya anggota lembaga
perwakilan oleh rakyat pemilihnya, komitmen wakil kepada rakyat yang
kecil serta semakin besar kecenderungan untuk abuse of power (baik
melalui kebijakan publik yang tidak merakyat serta kecenderungan self
interest maximizing).
Demokrasi
perwakilan (representative
democarcy)
merupakan suatu keniscayaan yang tidak bisa dielakkan terjadi di
dalam negara modern. Tetapi, seiring dengan menurunnya tingkat
kepercayaan publik (public
trust) terhadap
para wakil yang duduk di dalam pemerintahan (elected
officials),
pelibatan anggota masyarakat di dalam proses pembuatan
keputusan-keputusan penting yang menyangkut diri mereka sebagaimana
ada dalam demokrasi langsung (direct
democracy) atau
demokrasi yang bercorak partisipatoris (participatory
democracy) yang
pernah terjadi pada masa Yunani kuno menjadi rujukan kembali menjadi
penting.
Hanna
Pitkin (1967) memberikan salah satu definisi yang paling mudah: hanya
untuk mewakili dan untuk "membuat hadir lagi". Pada
definisi ini, representasi politik adalah kegiatan membuat suara
warga, pendapat, dan perspektif "hadir" dalam proses
pembuatan kebijakan publik. Representasi politik terjadi ketika
pelaku politik berbicara, advokat, melambangkan, dan bertindak atas
nama orang lain di arena politik. Singkatnya, representasi politik
adalah jenis bantuan politik.
Hasil demokrasi perwakilan dianggap
kurang berhasil atau gagal karena esensi perwakilan sering
dimanipulasi oleh para elite politik dalam memilih pemimpin. Bahkan
pada jaman Orde Baru dalam memilih pemimpin selama 6 (enam) kali
pemilu dengan sistem perwakilan ini terpilih satu orang yang sama
untuk menjadi presiden. Namun sesungguhnya bukan berarti demokrasi
perwakilan kurang “demokratis”. Demokrasi Perwakilan dimulai dari
zaman Senat di Republik Romawi. Sampai sekarang sistem ini dipakai
sebagai sistem yang terbanyak dipakai di dunia karena memberikan
kesan kepada masyarakat bahwa suara mereka sangat menentukan bagi
kandidat, sehingga kebutuhan mereka akan diperhatikan. Dari zaman
dahulu, ini adalah mitos yang sering dipakai, “Suara Rakyat”
sebagai slogan untuk mendapatkan dukungan rakyat.
Undang-Undang
Dasar Republik Indonesia tahun 1945, khususnya pada pasal 22B
menyatakan, “Anggota Dewan Perwakilan Rakyat dapat diberhentikan
dari jabatannya, yang syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam
undang-undang”, inilah yang menjadi dasar dalam pengaturan tentang
hak recall partai politik yang secara jelas tercantum dalam pasal 213
ayat 2 huruf (e), (f), (h), UU no. 27 tahun 2009 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan
Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang sebelumnya diatur
dalam pasal 85 ayat (1) UU no. 22 Tahun 2003 tentang Susunan dan
Kedudukan Majelis Permusyawarakatan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat,
Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, dan
pasal 12 huruf b UU no. 31 Tahun 2002 tentang Partai Politik. Hak
recall secara terminologi dalam kamus politik karangan B.N. Marbun
dapat diartikan sebagai suatu proses penarikan kembali atau
penggantian anggota DPR oleh induk organisasinya yaitu partai
politik. Sehingga dalam hal ini hak recall dapat dikatakan sebagai
suatu mekanisme kontrol yang dimiliki oleh partai politik untuk
mengawasi kinerja dari para anggotanya di DPR.
DPR
sebagai lembaga negara utama adalah lembaga legislative yang
merupakan bentuk dari political representation dari rakyat yang mana
DPR sendiri mempunyai fungsi dan kedudukan yang sangat penting di
dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia, yang tercantum di dalam
konstitusi Republik Indonesia yaitu pada pasal 20 A ayat (1) UUD 1945
yang menyatakan “Dewan Perwakilan Rakyat memiliki fungsi legislasi,
fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan”. Ketiga fungsi tersebut
hanya dapat terimplementasi dengan baik apabila anggota DPR sebagai
pilar utama pelaksana fungsi DPR dapat melaksanakan fungsinya sesuai
yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan (secara das
sollen).
Akan tetapi faktanya (secara das sein) semakin terlihat
keburukan/kemerosotan kinerja yang diperlihatkan oleh para wakil
rakyat di Parlemen yang mana jikalau diklasifikasikan maka akan
terlihat dalam 3 aspek, baik dari segi normatif (ex : korupsi,
penyuapan, narkotika), segi etika (ex : pelanggaraan kesusilaan), dan
segi kedisiplinan (ex : absen dalam sidang paripurna, tidur sewaktu
sidang). Ketiga aspek tersebut mengakibatkan tidak optimalnya
pelaksanaan fungsi negara khususnya dalam ranah legislatif, dan
akibatnya adalah tujuan dan cita-cita Negara yang tercantum dalam
Pembukaan UUD 1945 akan sulit untuk tercapai.
Kontrovesi
rencana pembangunan gedung baru DPR adalah satu dari sekian banyak
anomali politik yang pernah dipertontonkan oleh lembaga perwakilan
rakyat selama ini. Secara substantif, hal ini tentu tak berbeda
dengan rencana-rencana aneh yang pernah mereka ajukan diwaktu-waktu
lalu, seperti rencana pengajuan dana aspirasi, laptop
untuk wakil rakyat, renovasi perumahan DPR, dan lain-lain. Dan secara
umum, keputusan-keputusan politik seperti ini tak berbeda pula
dengan hasil kompromi politik yang cukup melukai rasa keadilan publik
yang pernah terjadi, seperti mentalnya hak angket pajak, hak
angket Century, inkonsistensi dan opportunisme politik dalam
arsitektur koalisi, yang diwaktu lalu cukup mengundang attensi kritis
publik di saentero negeri.
Hal
inilah yang melatarbelakangi akan pentingnya hak recall dalam sistem
ketatanegaraan di Indonesia selain atas jawaban akan kinerja Badan
Kehormatan DPR yang kurang optimal dan efisien menjalankan fungsinya
sebagai Badan internal DPR yang khusus menjaga harkat, martabat, dan
kehormatan para anggota DPR.
Recall
secara etimologi adalah "penarikan kembali". Sedangkan
Hak Recall Partai Politik adalah suatu penarikan kembali
atau pemberhentian dalam masa jabatan terhadap anggota parlemen
(DPR/DPRD) oleh partai politiknya. Perlu dikemukakan disini bahwa
Recall yang dimaksud dalam tulisan ini adalah recall oleh
masyarakat/rakyat konstituen, karena jika tidak dibatasi demikian,
pembahasan recall akan lebih panjang lebar karena sesuai
pengertiannya, recall sebenarnya tidak saja dapat dilakukan oleh
masyarakat/rakyat konstituen tetapi bisa juga oleh partai politik.
Recall
dalam undang-undang No.27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD
disebut pemberhentian/penggantian antarwaktu (pemberhentian dalam
masa jabatannya). Mengapa hak Recall Partai Politik ini perlu dibahas
? Pertama karena hak Recall ini merupakan salah satu perdebatan
hangat dalam berbagai disiplin ilmu, terutama ilmu hukum dan ilmu
politik. Hak Recall akan menarik untuk dikaji karena nilai
kontroversinya yang begitu dilematis, bagai dua sisi uang logam yang
berbeda satu sama lain.
Sebenarnya
titik perdebatan mengenai recall anggota DPR/DPRD ini muncul ketika
recall itu dilihat secara umum, yaitu meliputi recall oleh parpol
maupun oleh DPR sendiri melalui badan kehormatan, tentunya dengan
alasan-alasan terntenu. Dalam Pasal 213 ayat (2) UU No.27 Tahun 2009
tentang MD3 disebutkan mengenai alasan-alasan pemberhentian
antarwaktu anggota DPR, antara lain:
- Tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap sebagai anggota DPR selama 3 (tiga) bulan berturut-turut tanpa keterangan apapun;
- Melanggar sumpah/janji jabatan dan kode etik DPR;
- Dinyatakan bersalah berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih;
- Tidak menghadiri rapat paripurna dan/atau rapat alat kelengkapan DPR yang menjadi tugas dan kewajibannya sebanyak 6 (enam) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah;
- Diusulkan oleh partai politiknya sesuai dengan peraturan perundang-undangan;
- Tidak lagi memenuhi syarat sebagai calon anggota DPR sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan mengenai pemilihan umum anggota DPR, DPD, dan DPRD;
- Melanggar ketentuan larangan sebagaimana diatur dalam Undang-Undang ini;
- Diberhentikan sebagai anggota partai politik sesuai dengan ketentuan peraturan perundang undangan; atau
- Menjadi anggota partai politik lain.
Jika
memandang recall secara umum seperti diatas (dari poin a sampai poin
i) memang recall adalah sesuatu yang wajar adanya sebagai
instrumen/lembaga yang dapat mengontrol anggota DPR, karena ketika
memenuhi salah satu syarat recall diatas maka anggota DPR yang
bersangkutan akan dapat diberhentikan dalam masa jabatannya. Dapat
kita bayangkan jika lembaga recall ini dihapuskan, dimana tidak ada
mekanisme pemberhentian anggota DPR sekalipun dia berbuat salah.
Selanjutnya
hak recall sendiri diasumsikan oleh sejumlah pihak dapat mengurangi
atau mereduksi prinsip kedaulatan rakyat dikarenakan pola pemikiran
tersebut hanya sekedar bertolak dari anggota dewan yang merupakan
wakil partai politik dan bukan wakil dari rakyat, sehingga rakyat
khususnya konstituen yang seharusnya diwakilinya tidak mempunyai
kewenangan untuk melakukan hak recall. Akan tetapi pola pemikiran
tersebut di atas perlu diubah karena prinsip kedaulatan rakyat
seharusnya berakar pada pemikiran dimana wakil rakyat adalah
pelaksana kepentingan rakyat dan rakyatlah yang berdaulat, sehingga
anggota dewan seharusnya menjalankan apa yang diamanatkan oleh rakyat
dan bukan sekedar menjadi objek pelengkap legislatif. Oleh karena itu
hak recall senyatanya akan memperkuat prinsip kedaulatan rakyat,
dimana dalam hal ini hak recall merupakan suatu mekanisme kontrol
yang digunakan agar para anggota dewan menjalankan tugasnya untuk
memperjuangkan aspirasi masyarakat.
Secara
historis menunjukkan hak recall bukan merupakan sesuatu yang baru,
ini ditunjukkan sejak masa pemilu Orde Baru (1971-1997) yang menganut
sistem pemilu proporsional murni, sedangkan dalam pemilu 1999 yang
juga menganut sistem proporsional murni tidak dikenal recall, dan
recall ternyata dihidupkan kembali dalam Pemilu 2004 yang menganut
sistem Pemilu proporsional dengan daftar calon terbuka. Dalam konteks
pertanggungjawaban maka hak recall akan selalu dilihat dari sistem
pemilihan yang berlaku pada saat itu. Hal ini diasumsikan atas dasar,
dimana jika dalam pemilihan sistem yang berlaku pemilih langsung
memilih wakilnya maka sudah seharusnya recall dilakukan oleh
konstituennya, misalnya melalui petisi. Akan tetapi mekanisme
pemilihan anggota legislatif yang diatur dalam konstitusi
mengamanatkan bahwa pemilihan melalui partai politik, hal inilah yang
membenarkan tentang hak recall yang dilakukan oleh partai politik.
Perlu kedewasaan politik untuk melihat urgensi hak recall sendiri
dikarenakan kebanyakan fakta menunjukkan adanya penyalahgunaan hak
recall dikarenakan adanya unsur politik dalam penggunaan hak recall.
Menurut
Mirriam Budiardjo, partai politik memiliki 4 fungsi yang sangat
penting dalam suatu negara demokrasi, yaitu: parpol sebagai sarana
komunikasi politik, parpol sebagai sarana sosialisasi politik, parpol
sebagai sarana rekrutmen politik, dan parpol sebagai sarana pengatur
konflik. Fungsi-fungsi tersebut memberikan kedudukan yang sangat
penting dari partai politik dalam sistem pemerintahan suatu negara,
khususnya di Indonesia. Dan terbukti dalam dinamika ketatanegaraan
pasca reformasi adanya penguatan fungsi partai politik di dalam
sistem politik di Indonesia. Mulai dari partai yang berlatar
nilai-nilai agamis sampai nasionalis yang keseluruhannya merupakan
suatu sarana bagi warga negara untuk mengaspirasikan kepentingannya.
Peranan inilah yang menunjukkan perlu adanya eksistensi dari partai
politik di dalam sistem ketatanegaraan Indonesia yang harus selalu
dijaga.
Masalah
yang muncul akhir-akhir ini dan menjadi trend pembicaraan dikalangan
civitas akademika adalah recall oleh Parpol terhadap anggota DPR yang
kritis dan vokal terhadap pemerintah, yaitu Lily Chadidjah Wahid dan
Effendi Choirie. Hak Recall Parpol digunakan oleh pimpinan PKB untuk
memberhentikan antarwaktu keduanya. Partai menganggap sikap kedua
anggotanya tersebut diluar batas toleransi dan menyalahi kebijakan
partai. Lily Wahid terkait sikapnya yang membelot dari kebijakan
farksinya (PKB) untuk mendukung pemerintah, karena saat voting dalam
rapat Paripurna DPR untuk menerima hasil kerja Pansus terkait kasus
Century untuk diteruskan kepada lembaga pro justicia , Lily
Wahid adalah satu-satunya anggota DPR dari fraksi PKB yang memilik
opsi C (opsi yang menyatakan ada permasalahan hukum dalam bail out
Century). Sedangkan Effendi Choirie terkait sikapnya yang mendukung
hak angket mafia pajak, padahal fraksi PKB saat itu menolak usul hak
angket tersebut.
Dalam
konteks inilah seringkali kedaulatan rakyat yang tercermin dalam
pemilihan umum dirampas oleh keinginan elite partai. Dalam posisi
tertentu, elite partai menjadi amat supreme dan berdaulat dibanding
ratusan ribu pemilih yang memandatkan suaranya kepada sang
legislator. Kedaulatan rakyat yang merupakan asas penting dalam
Konstitusi amat mudah tereduksi dalam proses ini. Kasus diatas adalah
bukti betapa kesalahan yang ditujukan kepada mereka tidak terukur
indikatornya. Padahal dalam proses pemberhentian antarwaktu diatur
mekanisme cross check kepada masyarakat, utamanya
pemilihnya. Sayangnya mekanisme ini biasa disimpilasi dengan
menanyakan kepada para pengurus parpol di daerah pemilihan yang
bersangkutan. Sebagai partai politik yang terstruktur dari tingkat
pusat hingga daerah, sulit rasanya bagi pengurus parpol di daerah
melawan arus elite parpol pusat.
Sejauh
dapat dicatat, belum ada kasus recall yang dilatari perbedaan sikap
antara anggota DPR dan parpol induknya terkait dengan suatu kebijakan
tertentu yang harus diputuskan dalam pemungutan suara (voting)
terbuka. Dalam tradisi keilmuan tata negara, tindakan seperti ini
dikenal dengan istilah floor crossing.
Pertimbangan-pertimbangan
politis yang cenderung mem-back up kebijakan pemerintah yang
terindikasi bermasalah seringkali menjadi sebab di-Recall-nya seorang
anggota dewan yang justru bersikap vokal dan kritis terhadap
kebijakan yang tidak pro rakyat tersebut. Anggota DPR/DPRD seperti
pada kasus ini terlihat sebagai korban akibat adanya hak Recall dari
Parpol, padahal kebebasan berpendapat dan kemerdekaan mengeluarkan
pikiran telah dijamin oleh konstitusi sebagaimana tertuang dalam
beberapa pasalnya, antara lain : - Pasal 28 E UUD 1945 ayat (2)
"Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran, dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya. "
ayat (3) "Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat,
berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."
Pada
era reformasi saat ini, hak recall Parpol terhadap anggotanya
mendapat banyak kritikan karena dianggap menghalang-halangi kebebasan
anggota DPR untuk menjalankan amanat rakyat. Hak recall Parpol banyak
digunakan untuk memberhentikan anggota DPR yang tidak tunduk pada
kebijakan Parpol, akibatnya hak recall Parpol menjadi sebuah
bayang-bayang ancaman yang mengintimidasi (walaupun tidak secara
langsung) anggota DPR untuk menyuarakan aspirasi konstituennya. Hak
Recall Parpol seolah-olah menjadi rantai yang membelenggu kebebasan
anggota DPR untuk berekspresi dan bertindak sesuai hati nuraninya.
Jika
kita melihat dalam demokrasi perwakilan yang ada pada sekarang ini
maka yang ada hanyalah sebuah demokrasi yang prosedural. Demokrasi
elektoral yang diterapkan di indonesia tidak bisa melahirkan para
wakil yang mewakili aspirasi rakyat, akan tetapi lebih mewakili
kepentingan dari partai politik yang telah mengusung dia, hingga
calon ini bisa menjadi seorang DPR. Para anggota DPR yang seharusnya
mewakili rakyat justru lebih mementingkan kepentingan partai
politiknya, daripada mementingkan konstituen yang telah memilih dia.
Karena anggota DPR yang ada tidak memiliki akuntabilitas politik yang
jelas kepada konstituennya dan juga anggota DPR tidak bisa
diberhentikan oleh rakyat. Yang sangat luar biasa adalah anggota DPR
tidak bisa diberhentikan oleh rakyat apabila dia melakukan kesalahan
dan yang bisa memberhentikannya adalah partai politik dari anggota
DPR tersebut.
Untuk
mendapatkan seorang DPR yang respons terhadap kepentingan rakyat dan
tidak mementingkan kepentingan pribadi dan juga partai politiknya
maka kita harus mencontoh Negara Swiss. Karena di Swiss ini adalah
negara yang konsisten menggunakan sistem demokrasi langsungnya.
Sistem demokrasi langsung yang ada di Swiss, sudah lama menjadi
tradisi dan setidaknya dalam konstitusi Swiss 1849 sudah dicantumkan.
Inti sistem itu adalah kedaulatan di tangan rakyat dan dilaksanakan
oleh rakyat. Dalam sistem tersebut, semua kebijaksanaan pemerintah
yang memengaruhi hajat hidup orang banyak bisa dibatalkan bila tidak
didukung mayoritas rakyat melalui mekanisme recall.
Misalnya,
ketika Swiss memutuskan menjadi anggota PBB, dan tentu saja soal
menara masjid. Recall bisa berasal dari inisiatif pemerintah maupun
rakyat. Setiap warga Swiss berhak mengajukan recall untuk membatalkan
keputusan parlemen, asalkan bisa mengumpullan 50.000 tanda tangan
yang mendukungnya dalam tempo 100 hari sejak UU disahkan parlemen.
Misalnya, parlemen Swiss dan pemerintah memutuskan pembangunan pusat
listrik tenaga nuklir (PLTN). Jika ada rakyat yang tidak menyetujui,
mereka bisa membatalkan melalui mekanisme recall. Lantaran sebuah
undang-undang atau peraturan bisa dibatalkan melalui recall, parlemen
dan pemerintah tidak “sembrono” (sembarangan) dalam mengambil
keputusan. Akibatnya, pengambilan keputusan atau sebuah undang-undang
sangat lamban karena harus memperhatikan saran dan pendapat dari
banyak pihak, khususnya para stake holders (rakyat). Parlemen Swiss
adalah lembaga yang sangat dipercaya masyarakat, karena anggota
parlemen Swiss tidak terlalu tamak dengan uang dan fasilitas. Mereka
tidak digaji tetap dan tidak menerima pensiun dari jabatannya
tersebut.
Dari
sistem demokrasi seperti yang ada dinegara Swiss diatas, kita dapat
belajar bahwa suatu negara dapat melakukan demokrasi langsung yang
benar-benar menampung semua aspirasi dari semua rakyat. Sebuah sistem
demokrasi yang respons terhadap, apa yang dibutuhkan oleh rakyatnya.
Karena dengan adanya recall oleh rakyat itu para anggota legislatif
yang ada di Swiss tidak lagi bisa berbuat seenaknya sesuai dengan
kepentingannya sendiri dan juga kepentingan partai politiknya. Dengan
sistem seperti itu maka kebijakan publik yang dikeluarkan oleh
pemerintah sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh rakyatnya. Rakyat
bisa menolak kebijakan atau undang-undang yang tidak berfihak kepada
rakyat dengan cara surat referendum tersebut.
Dengan
mengacu pada contoh kasus Negara Swiss maka sistem recall oleh rakyat
akan dapat meningkatkan akuntabilitas publik anggota DPR yang selama
ini terkesan mementingkan kepentingan dirinya sendiri atau
kepentingan partai politiknya. Ketika hak recall di berikan kepada
partai politik maka seperti yang kita lihat dalam kasus Lily Wahid
dan Efendi Choiri, ketika memiliki pendapat yang tidak sesuai dengan
keinginan partai politiknya maka Partai Politik yang mengusungnya
dengan seenak hatinya melakukan recall terhadap mereka. Kita melihat
bahwa realitas partai politik pada saat ini tidak lagi
merepresentasikan lagi kepentingan rakyat, tetapi lebih mementingkan
kepentingan dari kelas pengusaha yang telah memberinya modal dalam
kampanye.
Komentar