“ANALISA BUDAYA POLITIK PADA PEMILU LEGISLATIF 2009”

Pendahuluan
Kehidupan manusia di dalam masyarakat, memiliki peranan penting dalam sistem politik suatu negara. Manusia dalam kedudukannya sebagai makhluk sosial, senantiasa akan berinteraksi dengan manusia lain dalam upaya mewujudkan kebutuhan hidupnya. Kebutuhan hidup manusia tidak cukup yang bersifat dasar, seperti makan, minum, biologis, pakaian dan papan (rumah). Lebih dari itu, juga mencakup kebutuhan akan pengakuan eksistensi diri dan penghargaan dari orang lain dalam bentuk pujian, pemberian upah kerja, status sebagai anggota masyarakat, anggota suatu partai politik tertentu dan sebagainya. Setiap warga negara, dalam kesehariannya hampir selalu bersentuhan dengan aspek-aspek politik praktis baik yang bersimbol maupun tidak. Dalam proses pelaksanaannya dapat terjadi secara langsung atau tidak langsung dengan praktik-praktik politik. Jika secara tidak langsung, hal ini sebatas mendengar informasi, atau berita-berita tentang peristiwa politik yang terjadi. Dan jika seraca langsung, berarti orang tersebut terlibat dalam peristiwa politik tertentu.
Kehidupan politik yang merupakan bagian dari keseharian dalam interaksi antar warga negara dengan pemerintah, dan institusi-institusi di luar pemerintah (non-formal), telah menghasilkan dan membentuk variasi pendapat, pandangan dan pengetahuan tentang praktik-praktik perilaku politik dalam semua sistem politik. Oleh karena itu, seringkali kita bisa melihat dan mengukur pengetahuan-pengetahuan, perasaan dan sikap warga negara terhadap negaranya, pemerintahnya, pemimpim politik dan lai-lain. Budaya politik, merupakan bagian dari kebudayaan masyarakat dengan ciri-ciri yang lebih khas. Istilah budaya politik meliputi masalah legitimasi, pengaturan kekuasaan, proses pembuatan kebijakan pemerintah, kegiatan partai-partai politik, perilaku aparat negara, serta gejolak masyarakat terhadap kekuasaan yang me­merintah.
Masalah Budaya Politik di Indonesia merupakan masalah yang sangat menarik untuk dibahas, sekalipun akhir-akhir ini kurang mendapatkan minat dari kalangan ilmuan politik di Indonesia. Penjelasan budaya politik di Indonesia selama ini dijelaskan secara kultural dan lebih berorientasi pada perilaku kelompok politik sebuah etnik yang dominan di Indonesia. Etnik jawa dijadikan parameter dalam memahami politik di Indonesia yang sudah semakin kompleks, jadi pendekatan kultural itu sudah agak tidak relevan lagi. Memasuki dekade 80-an para ilmuan politik di Indonesia mulai menggunakan pendekatan Ekonomi Politik, yang mencoba mengkaitkan antara persoalan ekonomi dengan masalah politik. Setelah pendekatan ekonomi politik berkembang kemudian muncul lagi pendekatan baru yang mencoba menjelaskan budaya politik di Indonesia dengan pendekatan yang mencoba menganalisis budaya politik di Indonesia, dengan memperhatikan state yang kemudian dihadapkan dengan masyarakat atau civil society. Kemudian pada 1990-an banyak sekali kalangan akademisi, politisi, pengamat sipil dan militer yang berbicara tetntang civil society dengan pemahaman mereka sendiri-sendiri.
Landasan Teori
Secara operasional Gabriel Almond dan Sydney Verba memahami budaya politik berdasarkan tiga orientasi politik individu, yaitu :
(1) ”Orientasi kognitif” yaitu komponen yang menyangkut pengetahuan tentang politik dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya. (2) “Orientasi afeksi” yaitu perasaan terhadap sistem politik, peranannya, para aktor dan penampilannya. (3) “Orientasi evaluasi” yaitu keputusan dan praduka tentang objek-objek politik yang secara tipikal melibatkan kombinasi standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan. (Almond and Verba, 1963: 14)
Orientasi kognitif adalah pengetahuan. Bagaimana individu mengetahui hak dan kewajiban warga negara di dalam konstitusi, bagaimana individu mengetahui tata cara pemilihan umum, bagaimana individu mengetahui partai politik dan aktivitas partai tersebut, bagaimana individu mengetahui perilaku pemimpin-pemimpin mereka lewat pemberitaan massa, merupakan contoh dari orientasi kognitif ini. Pengetahuan-pengetahuan ini bersifat tidak tetap. Pengetahuan bertambah atau tetap seiring dengan pengaruh-pengaruh dari lingkungan sekeliling individu.
Orientasi afektif berbeda dengan orientasi kognitif, oleh sebab orientasi afektif ini bergerak di dalam konteks perasaan. Perasaan-perasaan seperti diperhatikan, diuntungkan, merasa adil, sejahtera, suka atau tidak suka, ataupun sejenisnya, kerap lebih menentukan ketimbang faktor pengetahuan. Oleh sebab itu, banyak pemimpin negara yang mengeluarkan kebijakan-kebijakan populis (sifatnya populer) untuk mendongkrak aspek afektif warga negara. Di Indonesia, kebijakan-kebijakan seperti Bantuan Langsung Tunai, Askeskin, Pembagian Kompor Gas, dan sejenisnya bertujuan demi mengubah orientasi afektif warga negaranya. Tujuan akhirnya adalah, agar masyarakat merasa diperhatikan oleh pimpinan politik, dan mereka akan memilih para pemberi bantuan di kemudian hari.
Orientasi Evaluatif merupakan campuran antara orientasi kognitif dan afektif di dalam bentuk keputusan/tindakan. Misalnya, setelah mengetahui bahwa partai A atau B memang benar menyuarakan apa yang mereka inginkan, individu memilih mereka di dalam suatu pemilu. Atau, sekelompok individu menggelar unjuk rasa untuk mendukung seorang calon yang tengah ‘diserang’ oleh lawan politiknya, semata-mata karena mereka merasa kenal dan sedikit tahu akan jatidiri si politisi termaksud. Orientasi Evalutif muncul akibat adanya pengaruh dari orientasi kognitif dan afektif.
Dalam pemahaman yang lebih sederhana, budaya politik kewarganegaraan merupakan kombinasi antara karakteristik-karakteristik aktif, rasional, mempunyai informasi yang cukup mengenai politik, kesetiaan pada sistem politik, kepercayaan dan kepatuhan kepada pemerintah, keterikatan pada keluarga, suku dan agama (Surbakti, 1984: 69)
Tipe-tipe Budaya Politik
Menurut Almond dan Verba, budaya politik memiliki tipe-tipe masing-masing. Melalui hasil penelitian di 5 negara, keduanya menyimpulkan bahwa terdapat 3 budaya politik yang dominan terdapat di tengah individu. Tipe budaya politik sendiri berarti jenis kecenderungan individu di dalam sistem politik. Tipe-tipe budaya politik yang ada adalah:
1. Budaya Politik Parokial
Budaya politik parokial merupakan tipe budaya politik di mana ikatan seorang individu terhadap sebuah sistem politik tidaklah begitu kuat, baik secara kognitif maupun afektif. Di dalam tipe budaya politik ini, tidak ada peran politik yang bersifat khusus. Individu tidak mengharapkan perubahan apapun dari sistem politik. Ini diakibatkan oleh sebab individu tidak merasa bahwa mereka adalah bagian dari sebuah bangsa secara keseluruhan. Individu hanya merasa bahwa mereka terikat dengan kekuasaan yang dekat dengan mereka, misalnya suku mereka, agama mereka, ataupun daerah mereka. Budaya politik parokial yang sangat jelas terdapat di dalam budaya masyarakat yang masih nomaden. Misalnya ini terjadi di kafilah-kafilah badui jazirah Arabia, suku-suku pedalaman Indonesia seperti Kubu, Dani, Asmat, Anak Dalam, dan sejenisnya.
2. Budaya Politik Subyek
Budaya politik subyek adalah budaya politik yang tingkatannya lebih tinggi dari parokial oleh sebab individu merasa bahwa mereka adalah bagian dari warga suatu negara. Individu yang berbudaya politik subyek juga memberi perhatian yang cukup atas politik akan tetapi sifatnya pasif. Mereka sering mengikuti berita-berita politik tetapi tidak bangga atasnya, dalam arti, secara emosional mereka tidak merasa terlibat dengan negara mereka. Saat mereka tengah membicarakan masalah politik, cenderung ada perasaan tidak nyaman oleh sebab mereka tidak mempercayai orang lain begitu saja. Di ujung yang lain, saat berhadapan dengan institusi negara mereka merasa lemah dan tidak bisa berbuat apa-apa. Budaya politik subyek banyak berlangsung di negara-negara yang kuat (strong government) tetapi bercorak otoritaritarian atau totalitarian. Misalnya, budaya ini banyak terjadi di Indonesia di saat pemerintah Presiden Suharto (masa Orde Baru). Di masa tersebut, orang jarang ada yang berani membincangkan masalah politik secara bebas, terlebih lagi mengkritik presiden ataupun keluarganya. Gejala seperti ini juga terjadi di Cina, Korea Utara, Kuba, atau sebagian negara makmur seperti Arab Saudi, Singapura, ataupun Malaysia, yang sistem politiknya belum sepenuhnya demokrasi.
3. Budaya Politik Partisipan
Budaya politik partisipan adalah budaya politik yang lebih tinggi tingkatannya ketimbang subyek. Dalam budaya politik partisipan, individu mengerti bahwa mereka adalah warga negara yang punya sejumlah hak maupun kewajiban. Hak misalnya untuk menyatakan pendapat, memperoleh pekerjaan, penghasilan, pendidikan, dan di sisi lain kewajiban untuk, misalnya, membayar pajak. Dalam budaya politik partisipan, sering dan merasa bebas mendiskusikan masalah politik. Mereka merasa bahwa, hingga tingkatan tertentu, dapat mempengaruhi jalannkan perpolitikan negara. Mereka pun merasa bebas dan mampu mendirikan organisasi politik baik untuk memprotes ataupun mendukung pemerintah. Jika tidak mendirikan organisasi politik, mereka pun banyak bergabung ke dalam organisasi sukarela baik bersifat politik maupun tidak. Saat mengikuti pemilu mereka cukup berbangga hati. Budaya politik partisipan utamanya banyak terjadi di negara-negara dengan tingkat kemakmuran dan keadilan yang cukup tinggi. Jarang budaya politik partisipan terdapat di negara-negara yang masih bercorak otoritarian, totaliter, ataupun terbelakang secara ekonomi. Atau, jika tidak makmur secara ekonomi, maka budaya politik partisipan muncul dalam sistem politik yang terbuka seperti Demokrasi Liberal.

Analisa Budaya Politik Pada Pemilu Legislatif 2009
Pada 9 April 2009 tahun lalu, pemilu legislatif usai digelar. Pemilu 2009 memang sangat berbeda dengan pemilu-pemilu sebelumnya. Pemilu 2009 berjalan dalam suasana sangat kompetitif multipartai dan memilih nama caleg. Pemilu yang dibayangkan mampu menghadirkan kontestan yang benar-benar dikenal oleh pemilih. Sebagain besar masyarakat bisa mengenal dan berkomunikasi langsung dengan calon-calon anggota parlemen. Tujuannya adalah mendekatkan calon legislative kepada masyarakat serta mengarahkan masyarakat agar melakukan pilihan berdasarkan perhitungan rasional tentang keuntungan atau kerugian yang bakal diperoleh. Hasilnya adalah harapan mengenai legislative yang legitimate, sehingga mampu melahirkan kebijakan-kebijakan politik yang berbasis kepentingan masyarakat. Harapan-harapan ini dimungkinkan karena beberapa hal. Menguatnya peran media, semakin membaiknya tingkat pendidikan masyarakat, yang memungkinkan masyarakat semakin rasional di dalam melakukan pilihan-pilihan politik. Pandangan-pandangan politik lama seperti pendekatan Geertz tentang Santri, Priyayi, dan abangan sebagai preferensi pilihan politik tidak mampu memberikan penjelasan perilaku politik masyarakat. Bahwa kepercayaan agama tidak lagi menjadi faktor determinan perilaku politik masyarakat. Pemilu 2009, sepertinya bergerak dalam keyakinan.
Dalam pemilu 2009 ini, di luar persoalan kemenangan Partai Demokrat yang spektakuler dengan 20,85% perolehan suara, sebagaimana diduga oleh banyak lembaga survey, catatan penting adalah aroma politik uang yang begitu kuat memberi cita rasa pemilu 2009. Siapa yang memberi saya uang lebih banyak, dialah yang saya pilih. Kurang lebih demikianlah cara berpikir para pemilih. Atau sebaliknya para calon anggota legislative yang menyimpulkan bahwa masyarakat memilih hanya karena pertimbangan uang. Apakah pemilu 2009 ini mencerminkan “budaya duit” yang sudah dibayangkan oleh setiap orang. Gambaran di atas dapat begitu saja membuat orang berfikir bahwa tidak banyak lagi makna yang masih tersisa dari pemilu, selain pandangan bahwa masyarakat sedang berada di ujung “zaman daulat duit”.
Secara umum, perilaku politik, khususnya perilaku memilih merupakan fungsi dari sikap atas situasi social, ekonomi, politik dan kepentingan masyarakat. Perilaku politik, merupakan bagian dari tindakan social yang merupakan cermin dari budaya masyarakat.
Sebagai ilustrasi, kita dapat menunjuk pada norma-norma dan simbol-simbol masing-masing kategori sejarah. Dalam kategori tradisional misalnya, norma solidaritas dan partisipasi menjadi ideologi. Di sini kita menemukan bahwa cita-cita egalitarian diwujudkan dalam berbagai mite, tabu dan tradisi lisan yang menunjang ideology itu. Dalam kategori patrimonial, yang ideologinya “kawulo-gusti” kita menemukan norma yang melegitimasikan dan berusaha memberikan kontrol negara atas masyarakat dalam bentuk simbolik berupa babad, tabu, mite serta hasil-hasil seni yang mengkeramatkan raja. Sebagai catatan dapat dikemukakan tentang kemungkinan adanya dikotomi budaya di satu kategori dan juga ada gejala anomali budaya pada penghujung tiap kategori sejarah. Dalam masyarakat patrimonial misalnya, akan ada dikotomi social dan budaya antara golongan bangsawan dan petani. Ada budaya istana dan budaya rakyat yang masing-masing mempunyai lembaga, symbol dan normanya sendiri.
Jadi budaya politik warga indonesia pada pemilu legislative 2009 banyak yang partisipan. Ini di buktikan dengan jumlah golput yang semakin sedikit jika di bandingkan dengan pemilu legislative sebelumnya. Seemakin banyak warga indonesia yang memahami tentang arti pentingnya ikut berpartisipasi politik dalam merubah perpolitikan indonesia kedepannya agar menjadi lebih baik. Budaya politik partisipan banyak terjadi pada masyarakat kalangan terdidik dan daerah perkotaan. Walaupun seperti itu juga banyak warga yang sebenarnya bersifat parokial, tetapi menurut saya budaya parokial yang ditunjukkan oleh orang indonesia sudah bukan parokial seperti yang dikatakan oleh verba dalam theorinya. Tetapi lebih pada parokhial yang memilih berpartisipasi poltik karena mendapatkan uang dari para calon legislative. Pada hakikatnya para pemilih ini bersifat acuh tak acuh terhadap perpolitikan yang ada di Indonesia, akan tetapi demi uang maka mereka memilih. Dan mereka memilih itupun tidak berdasarkan kesadaran politik mereka yang tinggi, akan tetapi karena mendapatkan uang. Tanpa uang mereka akan bersifat parokial terhadap pemerintahan. Sedangkan untuk budaya politik subyek dimiliki oleh kalangan akademisi yang sudah mulai muak dengan tingkah laku para politisi yang bertindak sesuka hatinya. Para akademisi ini tahu bahwa politik di Indonesia ini sudah mengalami kekacauan, akan tetapi mereka sudah bosan dan tidak percaya lagi dengan janji manis para politisi.

Komentar

Postingan Populer