"RESPONSE AGAMA ISLAM TERHADAP GLOBALISASI"

BAB. 1
PENDAHULUAN
1. LATAR BELAKANG
Globalisasi berasal dari kata “Globe” yang berarti bola bumi karena akselariasi penyebaran informasi yang luar biasa dan cepat bahkan kita tidak membutuhkan waktu yang lama dan uang yang cukup banyak untuk menjelajahi dunia, kita hanya cukup klik Google Earth, disana kita akan mendapatkan informasi yang lengkap tentang bumi dan isinya. Bersamaan dengan derasnya arus globalisasi yang tidak bisa dikendalikan sehingga kemajuan-kemajuan tersebut mengubah dan mengarahkan kebudayaan kita dan bahkan melebihi angan-angan kita, kemajuan teknologi telah menguasai seluruh dunia sehingga sangat mudah untuk mendapatkan informasi bahkan tidak sedikit budaya-budaya barat mempengaruhi budaya timur. Ini semua karena tidak ada lagi pembatas, coba kita lihat gaya hidup umat islam pra-globalisasi, dulu banyak umat islam yang bergaya ala islami dengan memakai jilbab dan busana muslimah. Akan tetapi dijaman yang katanya penuh dengan ilmu pengetahuan dan teknlogi, sangat jarang sekali kita jumpai wanita mengenakan pakaian muslimah. Semua ini karena pengaruh derasnya dunia luar. Cuciam W. Ye, mengatakan bahwa modernitas adalah budaya dunia, karena semua negara ini membutuhkan perkembangan dan perubahan untuk mencapai tujuan-tujuan dengan mudah dan fleksibel. Terciptanya budaya modern didasarkan pada teknolgi yang maju dan semangat dunia ilmiah dan pandangan hidup yang rasional dikalangan manusia.1
Alex Lukes memberikan ciri-ciri manusia modern yaitu :
Kesiapan untuk menerima pengalaman-pengalaman baru dan terbuka terhadap pembaharuan.
Orientasi dibidang opini bercorak demokratis
Lebih berorientasi pada masa kini dan masa depan dari pada masa lampau.
Berkeyakinan pada ilmu dan teknologi, menjunjung hakekat diri.
Perkembangan komunikasi dan transportasi menyebabkan proses globalisasi berlangsung intensif, ekstensif, dan cepat. Masalah jarak ruang dan waktu tidak lagi menjadi penting. Dunia seakan menjadi demikian sempit dan menyatu, atau seperti digambarkan David Harley, dunia menjadi global village. Berbagai perkembangan baru masuk ke lingkungan-lingkungan yang semula eksklusif dan tertutup.2 Bicara masalah pembangunan budaya berfikir pada umat islam, tentulah kita tidak boleh lepas dari kata islam, karena yang menjadi obyek paling penting dalam pembahasan ini adalah umat islam, dan segala macam pembahasan yang membahas mengenai umat islam pastilah kita harus kembali kepada nilai-nilai dari agama islam atau dasar-dasar ajaran islam. Begitu juga dalam masalah budaya berfikir umat islam sekarang ini, kita harus memulainya dari pokok-pokok ajaran islam agar hipotesis ataupun kesimpulan yang dihasilkan selalu beriringan dengan norma-norma islam dan tetap bersifat islami.
Kemampuan bangsa barat dalam mengembangkan potensi diri sangatlah berkembang dengan pesat setelah berkenalan dengan buku-buku dari bangsa timur tengah. Pengenalan tersebut memberikan dampak yang sangat besar, dan menjadikan bangsa barat memasuki jaman pencerahan (enlaigtment age).  Abad pencerahan ini memberikan peran yang istimewa dari manusia sebagai mahluk individu yang bertanggung jawab dalam menentukan nasibnya sendiri. Peran yang aktif dalam diri manusia ini, maka manusia akan mulai bersentuhan dengan realitas sehingga dapat ditemukannya ilmu pengetahuan dan teknologi. Penemuan iptek tersebut menjadi pencerahan dalam mencari bahan baku industri dan tempat pemasaran hasil industri. Pemasaran dan pencarian bahan baku industri tersebut menjadikan bangsa barat melakukan penjajahan terhadap bangsa timur. Dampak yang paling terasa hingga saat sekarang ini adalah sifat yang tercela seperti potong-kompas dan rendah diri.
Pembangunan sebagai salah satu paradigma dan teori perubahan sosial dewasa ini semakin krisis dan kegagalan didalam penerapannya berbagai negara dunia ketiga. Kegagalan pembangunan didunia ketiga justru terjadi pada negara yang dianggap paling sukses dan dijadikan sebagai contoh pembangunan bagi negara-negara penganut teori pembangunan lainnya, yakni negara-negara kapitalisme model NIC ( Newly Industralist Countries), seperti Korea Selatan dan Taiwan. Kegagalan pembangunan juga terjadi pada Negara-negara NIC seperti Thaliland, Malaysia dan Indonesia. Adanya penjelasan yang menyalahkan faktor korupsi rezim dinegara-negara tersebut sebagai argument untuk menjelaskan krisis dan kejatuhan kapitalisme di Asia yang terjadi secara cepat. Meskipun demikian, suatu diskursus baru sebelum kejatuhan kapitalisme, Asia telah mulai dibangun untuk memperbaiki atau mereformasi sistem kapitalaisme. Sebagai suatu proses reformasi, bukan tranformasi, maka pendekatan ideologi, dan stuktur diskursus tidak jauh berbeda dengan sistem, struktur dan ideologi yang dijadikan landasan teori pembangunan. Diskursus itu yang kita kenal globalisasi.
Memasuki melinium ketiga ini kita disibukkan dengan istilah globalsasi yang menjadi arus yang tidak dapat di bending lagi oleh berbagai negara dibelahan dunia. Shimon Peres menyatakan kekuatan globalisasi sebagai pengalaman orang yang bangun pagi dan melihat segala sesuatu sudah berubah.3 Banyak hal yang kita anggap suatu kebenaran tetapi suatu waktu menghilang tanpa bekas. Para pakar mengakuinya bahwa sekarang perubahan kehidupan manusia terbawa oleh arus global. Masyarakat atau bangsa yang kurang siap akan terbawa oleh arus global. Senada pula dengan yang di utarakan oleh Giddens bahwa globalisasi barangkali bukanlah perkataan yang sangat menarik atau elegan. Namun demikian, tidak seorangpun memahami prospek kehidupan kita diakhir abad ini tidak dapat mengabaikannya.  Globalisasi berkaitan dengan tesis bahwa kita sekarang hidup di satu dunia, tetapi dengan mudah kita dapat melakukan perjalanan keliling dunia. Dalam setiap negara membicarakan globalisasi dengan cukup intenship seperti kata globalisasi dikenal oleh warga Prancis dengan mondialisation, sedangkan di Spanyol dan Amerika Latin kata ini adalah globalizacion dan untuk Jerman menyebutnya dengan globalisierung. (Anthony Giddens:2004).
Akhir-akhir ini kita kenal dengan istilah iptek (ilmu pengetahuan dan teknologi), saintek (sains dan teknolgi) dan yang sangat spektakuler yang telah kita rasakan sekarang ini adalah globalisasi dan dampaknya. Istilah saintek menunjukkan kemajuan bidang ilmu pengetahuan dan teknlogi modern, sehingga dengan menguasai iptek dan saintek dapat memberi kekuatan untuk menciptakan hal-hal yang baru dan yang lebih modern salah satunya adalah satelit komunikasi yang dengannya tidak ada lagi batas dan jarak untuk berkomunikasi, bahkan saat ini kita bisa berkomunikasi layaknya kita bertemu langsung dengan orang yang kita ajak berbicara dari Negara kenegara lain. Hal inilah yang disebut dengan globalisasi.
Dalam kaitannya dengan islam dan pemikiran islam, peradaban modern menjadi tantangan dan sekaligus ancaman bagi umat islam. Umat islam merasa terikat dengan ajaran universal dari agama yang dianutnya, dalam kenyataannya peradaban modern lebih kuat mendesakkan nilai-nilai baru bagi perubahan sikap dan prilaku umat. Dengan sepintas bisa dikatakan bahwa tradisionalisme islam tampaknya tidak kontable lagi dengan kecenderungan modernisasi secara doktrinal. Sehingga banyak umat islam yang menghilang terbawa oleh arus modernisasi dan memunculkan budaya-budaya baru yang bermotif dan berkiblat pada barat dan jauh dari nilai-nilai keislaman. Sebenarnya dapat dilacak relevansi umat islam dengan nilai-nilai esensial kemodernan dalam dirinya sendiri bahwa islam memandang nilai-nilai kemodernan dalam pengertian selalu memberikan angin baru.
Nilai-nilai kemanusiaan secara lebih luas lagi menunjukkan bahwa modernitas seharusnya dipandang tidak terlalu asing bagi kita umat islam, meskipun terdengar sangat apologetik argumen yang sering dikemukakan banyak kalangan. Jaman modern yang kita nikmati sekarang pun sebetulnya sebagian besar kontinuitas dari peradaban islam masa lalu. Pada jaman sekarang dalam segi pakaian dan akhlak hampir sama dengan jaman sebelum peradaban islam, dahulu anak perempuan dikubur hidup-hidup oleh orang tuanya, manusia bertingkah laku layaknya hewan dan jika kita bandingkan dengan jaman sekarang malah lebih sadis lagi bahkan bayi yang belum lahir pun sudah dibunuh dalam kandungan dan akhlak pun hampir sama dengan akhlak manusia jaman pra islam dulu. Ini berarti bahwa jaman modern saat ini merupakan kontinuitas dari ada peradaban jaman dahulu. Hodason adalah seorang ahli sejarah dunia mengatakan daam karyanya “ the venture of islam”, “ seandainya sejarah dunia itu diibaratkan roda, maka sumbunya adalah sejarah islam”.4 Kehadiran islam dimuka bumi ini sungguh sangat sukses dan memiliki implikasi yang sangat signifikan bagi peningkatan dan perubahan zaman.

II. Rumusan Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan diatas masalah yang muncul dapat dirumuskan sebagai berikut :
a. Apa yang dimaksud dengan globalisasi ?
b. Bagaimana response agama islam terhadap globalisasi yang terjadi dalammasyarakat ?
III. Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
a. Mengetahui secara lengkap mengenai pengertian globalisasi.
b. Mampu mengetahui dan memahami bagaimana response agama islam terhadap derasnya arus globalisasi yang berkembang pada era sekarang.
IV. Manfaat
A. Praktis
1. Mahasiswa mengetahui apa itu globalisasi dan juga hal-hal yang berkaitan dengan globalisasi.
2. Mahasiswa mampu mendiskripsikan tentang faham response agama islam terhadap globalisasi dengan baik dan benar.
B. Teoritis
1. Dengan mengadakan suatu penelitian tentang response agama islam terhadap globalisasi ini mahasiswa mampu mengembangkan keterampilan menulisnya.
2. Dapat dijadikan referensi maupun untuk menambah wawasan dengan kemajuan teknologi yang telah ada, serta membantu dalam menerapkan dalam masyarakat.







BAB. II
PEMBAHASAN
I. PENGERTIAN GLOBALISASI
Globalisasi adalah sebuah istilah yang memiliki hubungan dengan peningkatan keterkaitan dan ketergantungan antar-bangsa dan antar-manusia di seluruh dunia dunia melalui perdagangan, investasi, perjalanan, budaya populer, dan bentuk-bentuk interaksi yang lain sehingga batas-batas suatu negara menjadi semakin sempit.5 Globalisasi adalah suatu proses di mana antar-individu, antar-kelompok, dan antar-negara saling berinteraksi, bergantung, terkait, dan mempengaruhi satu sama lain yang melintasi batas negara dalam banyak hal, globalisasi mempunyai banyak karakteristik yang sama dengan internasionalisasi sehingga kedua istilah ini sering dipertukarkan. Sebagian pihak sering menggunakan istilah globalisasi yang dikaitkan dengan berkurangnya peran negara atau batas-batas negara.
Menurut asal katanya, kata "globalisasi" diambil dari kata global, yang maknanya ialah universal. Achmad Suparman menyatakan Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah.6 Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga bergantung dari sisi mana orang melihatnya. Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.
Pasca perang dingin beberapa sistem baru menggugurkan hal yang mempersiapkan kerangka kerja yang berbeda untuk hubungan internasional. Pasca perang dingin suasana dunia sangat brantakan, membingungkan dan tak terdefinisikan. Tetapi lebih dari itu kita berada dalam sebuah sistem internasional yang baru. Sistem yang baru tersebut memiliki logika sendiri yang unik, berbagai peraturan, tekanan intensif, dan memiliki nama sendiri yaitu globalisasi. Globalisasi bukan hanya model ekonomis, dan bukan hanya model yang telah berlalu. Ini merupakan sistem internasional yang dominan, yang menggantikan sistem perang dingin setelah runtuhnya tembok berlin. Maksud dari sebagai sistem internasional dalam perang dingin memliki struktur kekuatan sendiri keseimbangan antara Amerika dengan Uni Soviet. Perang dingin memiliki trend tersendiri yaitu pertikaian antara kapitalisame dengan komunisme, antara blok barat dengan blok timur. Dari seluruh elemen yang berada dalam perang dingin tersebut akan mempengaruhi politik, perdagangan dan hubungan negara diberbagai belahan dunia.
Bahasa globalisasi patut mendapatkan perhatian khusus. Kata globalisasi itu sendiri, dalam kebanyakan penggunaannya tidak mengandung satu konsep tertentu. Persolannya tidak sekedar penggunaan kata oleh intelektual, penggunan istilah yang kabur maknanya yiatu merupakan tabir yang efektif untuk menutup sebab akibat. Menegah analisis tentang apa yang sedang terjadi, oleh siapa, terhadap siapa, untuk siapa, dan dengan akibat apa.  Terdapat dua macam perkembangan modalis di padukan dengan istilah globalisasi. Pertama, perkembangan teknologi dan kedua, perkembangan dalam pemusatan kekuasaan.
Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuk yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama. Theodore Levitte merupakan orang yang pertama kali menggunakan istilah Globalisasi pada tahun 1985.
Scholte melihat bahwa ada beberapa definisi yang dimaksudkan orang dengan globalisasi:
Internasionalisasi: Globalisasi diartikan sebagai meningkatnya hubungan internasional. Dalam hal ini masing-masing negara tetap mempertahankan identitasnya masing-masing, namun menjadi semakin tergantung satu sama lain.
Liberalisasi: Globalisasi juga diartikan dengan semakin diturunkankan batas antar negara, misalnya hambatan tarif ekspor impor, lalu lintas devisa, maupun migrasi.
Universalisasi: Globalisasi juga digambarkan sebagai semakin tersebarnya hal material maupun imaterial ke seluruh dunia. Pengalaman di satu lokalitas dapat menjadi pengalaman seluruh dunia.
Westernisasi: Westernisasi adalah salah satu bentuk dari universalisasi dengan semakin menyebarnya pikiran dan budaya dari barat sehingga mengglobal.
Hubungan transplanetari dan suprateritorialitas: Arti kelima ini berbeda dengan keempat definisi di atas. Pada empat definisi pertama, masing-masing negara masih mempertahankan status ontologinya. Pada pengertian yang kelima, dunia global memiliki status ontologi sendiri, bukan sekadar gabungan negara-negara. (Scholte: 1985)
Banyak sejarawan yang menyebut globalisasi sebagai fenomena di abad ke-20 ini yang dihubungkan dengan bangkitnya ekonomi internasional. Padahal interaksi dan globalisasi dalam hubungan antarbangsa di dunia telah ada sejak berabad-abad yang lalu. Bila ditelusuri, benih-benih globalisasi telah tumbuh ketika manusia mulai mengenal perdagangan antar-negeri sekitar tahun 1000 dan 1500 M. Saat itu, para pedagang dari Tiongkok dan India mulai menelusuri negeri lain baik melalui jalan darat (seperti misalnya jalur sutera) maupun jalan laut untuk berdagang. Fenomena berkembangnya perusahaan McDonald di seluroh pelosok dunia menunjukkan telah terjadinya globalisasi.
Fase selanjutnya ditandai dengan dominasi perdagangan kaum muslim di Asia dan Afrika. Kaum muslim membentuk jaringan perdagangan yang antara lain meliputi Jepang, Tiongkok, Vietnam, Indonesia, Malaka, India, Persia, pantai Afrika Timur, Laut Tengah, Venesia, dan Genoa. Di samping membentuk jaringan dagang, kaum pedagang muslim juga menyebarkan nilai-nilai agamanya, nama-nama, abjad, arsitek, nilai sosial dan budaya Arab ke warga dunia.7
Fase selanjutnya ditandai dengan eksplorasi dunia secara besar-besaran oleh bangsa Eropa. Spanyol, Portugis, Inggris, dan Belanda adalah pelopor-pelopor eksplorasi ini. Hal ini didukung pula dengan terjadinya revolusi industri yang meningkatkan keterkaitan antar-bangsa dunia. Berbagai teknologi mulai ditemukan dan menjadi dasar perkembangan teknologi saat ini, seperti komputer dan internet. Pada saat itu, berkembang pula kolonialisasi di dunia yang membawa pengaruh besar terhadap difusi kebudayaan di dunia.
Semakin berkembangnya industri dan kebutuhan akan bahan baku serta pasar juga memunculkan berbagai perusahaan multi-nasional di dunia. Di Indonesia misalnya, sejak politik pintu terbuka, perusahaan-perusahaan Eropa membuka berbagai cabangnya di Indonesia. Freeport dan Exxon dari Amerika Serikat, Unilever dari Belanda, British Petroleum dari Inggris adalah beberapa contohnya. Perusahaan multi-nasional seperti ini tetap menjadi ikon globalisasi hingga saat ini.
Fase selanjutnya terus berjalan dan mendapat momentumnya ketika perang dingin berakhir dan komunisme di dunia runtuh. Runtuhnya komunisme seakan memberi pembenaran bahwa kapitalisme adalah jalan terbaik dalam mewujudkan kesejahteraan dunia. Implikasinya, negara-negara di dunia mulai menyediakan diri sebagai pasar yang bebas. Hal ini didukung pula dengan perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi. Al-hasil, sekat-sekat anta-rnegara pun mulai kabur.
Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya. Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuknya yang paling mutakhir. Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing. Sebab globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama.
Unsur globalisasi yang sulit diterima masyarakat:
1. Teknologi yang rumit dan mahal.
2. Unsur budaya luar yang bersifat ideologi dan religi.
3. Unsur budaya yang sukar disesuaikan dengan kondisi masyarakat.
Unsur globalisasi yang mudah diterima masyarakat:
1. Unsur yang mudah disesuaikan dengan kebutuhan dan kondisi masyarakat.
2. Teknologi tepat guna, teknologi yang langsung dapat diterima oleh masyarakat.
3. Pendidikan formal di sekolah.

II. DAMPAK GLOBALISASI
Gerakan pro-globalisasi
Pendukung globalisasi (sering juga disebut dengan pro-globalisasi) menganggap bahwa globalisasi dapat meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran ekonomi masyarakat dunia. Mereka berpijak pada teori keunggulan komparatif yang dicetuskan oleh David Ricardo.8 Teori ini menyatakan bahwa suatu negara dengan negara lain saling bergantung dan dapat saling menguntungkan satu sama lainnya, dan salah satu bentuknya adalah ketergantungan dalam bidang ekonomi. Kedua negara dapat melakukan transaksi pertukaran sesuai dengan keunggulan komparatif yang dimilikinya. Misalnya, Jepang memiliki keunggulan komparatif pada produk sepeda motor (mampu mencetak lebih berkwalitas dan bermutu tinggi) sementara Indonesia memiliki keunggulan komparatif pada produk kainnya. Dengan teori ini, Jepang dianjurkan untuk menghentikan produksi kainnya dan mengalihkan faktor-faktor produksinya untuk memaksimalkan produksi sepeda motor, lalu menutupi kekurangan penawaran kain dengan membelinya dari Indonesia, begitu juga sebaliknya.
Salah satu penghambat utama terjadinya kerjasama diatas adalah adanya larangan-larangan dan kebijakan proteksi dari pemerintah suatu negara. Di satu sisi, kebijakan ini dapat melindungi produksi dalam negeri, namun di sisi lain, hal ini akan meningkatkan biaya produksi barang impor sehingga sulit menembus pasar negara yang dituju. Para pro-globalisme tidak setuju akan adanya proteksi dan larangan tersebut, mereka menginginkan dilakukannya kebijakan perdagangan bebas sehingga harga barang-barang dapat ditekan, akibatnya permintaan akan meningkat. Karena permintaan meningkat, kemakmuran akan meningkat dan begitu seterusnya.
Beberapa kelompok pro-globalisme juga mengkritik Bank Dunia dan IMF, mereka berpendapat bahwa kedua badan tersebut hanya mengontrol dan mengalirkan dana kepada suatu negara, bukan kepada suatu koperasi atau perusahaan. Sebagai hasilnya, banyak pinjaman yang mereka berikan jatuh ke tangan para diktator yang kemudian menyelewengkan dan tidak menggunakan dana tersebut sebagaimana mestinya, meninggalkan rakyatnya dalam lilitan hutang negara, dan sebagai akibatnya, tingkat kemakmuran akan menurun. Karena tingkat kemakmuran menurun, akibatnya masyarakat negara itu terpaksa mengurangi tingkat konsumsinya, termasuk konsumsi barang impor, sehingga laju globalisasi akan terhambat dan menurut mereka akan mengurangi tingkat kesejahteraan penduduk dunia.
Gerakan anti-globalisasi
Anti-globalisasi adalah suatu istilah yang umum digunakan untuk memaparkan sikap politis orang-orang dan kelompok yang menentang perjanjian dagang global dan lembaga-lembaga yang mengatur perdagangan antar negara seperti Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). "Anti-globalisasi" dianggap oleh sebagian orang sebagai gerakan sosial, sementara yang lainnya menganggapnya sebagai istilah umum yang mencakup sejumlah gerakan sosial yang berbeda-beda. Apapun juga maksudnya, para peserta dipersatukan dalam perlawanan terhadap ekonomi dan sistem perdagangan global saat ini, yang menurut mereka mengikis lingkungan hidup, hak-hak buruh, kedaulatan nasional, dunia ketiga, dan banyak lagi penyebab-penyebab lainnya.
Namun, orang-orang yang dicap "antiglobalisasi" sering menolak istilah itu, dan mereka lebih suka menyebut diri mereka sebagai Gerakan Keadilan Global, Gerakan dari semua gerakan atau sejumlah istilah lainnya. Globalisasi perekonomian merupakan suatu proses kegiatan ekonomi dan perdagangan, dimana negara-negara di seluruh dunia menjadi satu kekuatan pasar yang semakin terintegrasi dengan tanpa rintangan batas teritorial negara. Globalisasi perekonomian mengharuskan penghapusan seluruh batasan dan hambatan terhadap arus modal, barang dan jasa.
Ketika globalisasi ekonomi terjadi, batas-batas suatu negara akan menjadi kabur dan keterkaitan antara ekonomi nasional dengan perekonomian internasional akan semakin erat. Globalisasi perekonomian di satu pihak akan membuka peluang pasar produk dari dalam negeri ke pasar internasional secara kompetitif, sebaliknya juga membuka peluang masuknya produk-produk global ke dalam pasar domestik.
Globalisasi membawa dampak positif ataupun negatif terhadap perubahan sosial dan budaya suatu masyarakat.
Ciri-Ciri Globalisasi:
1. Perubahan dalam konsep ruang dan waktu. Perkembangan barang-barang seperti telepon genggam, televisi satelit, dan internet menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi demikian cepatnya, sementara melalui pergerakan massa memungkinkan kita merasakan banyak hal dari budaya yang berbeda.
2. Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam World Trade Organization (WTO).
3. Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan olah raga internasional). Saat ini, kita dapat mengonsumsi dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal-hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang fashion, literatur, dan makanan.
4. Meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lain-lain.
Pengaruh globalisasi terhadap kehidupan masyarakat Indonesia:
Pengaruh Positif:
1. Dilihat dari globalisasi politik, pemerintahan dijalankan secara terbuka dan demokratis. Karena pemerintahan adalah bagian dari suatu negara, jika pemerintahan djalankan secara jujur, bersih dan dinamis tentunya akan mendapat tanggapan positif dari rakyat. Tanggapan positif tersebut berupa rasa nasionalisme terhadap negara menjadi meningkat.
2. Globalisasi ekonomi, terbukanya pasar internasional, meningkatkan kesempatan kerja dan meningkatkan devisa negara. Dengan adanya hal tersebut akan meningkatkan kehidupan ekonomi bangsa yang menunjang kehidupan nasional bangsa.
3. Globalisasi sosial budaya kita dapat meniru pola berpikir yang baik seperti etos kerja yang tinggi dan disiplin dan Iptek dari bangsa lain yang sudah maju untuk meningkatkan kemajuan bangsa yang pada akhirnya memajukan bangsa dan akan mempertebal rasa nasionalisme kita terhadap bangsa.
PENGARUH NEGATIF:
1. Globalisasi mampu meyakinkan masyarakat Indonesia bahwa liberalisme dapat membawa kemajuan dan kemakmuran. Sehingga tidak menutup kemungkinan berubah arah dari ideologi Pancasila ke ideologi liberalisme. Jika hal tesebut terjadi akibatnya rasa nasionalisme bangsa akan hilang.
2. Globalisasi aspek ekonomi, hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri karena banyaknya produk luar negeri (seperti Mc Donald, Coca Cola, Pizza Hut,dll.) membanjiri di Indonesia. Dengan hilangnya rasa cinta terhadap produk dalam negeri menunjukan gejala berkurangnya rasa nasionalisme masyarakat kita terhadap bangsa Indonesia.
3. Munculnya sikap individualisme yang menimbulkan ketidak pedulian antar-perilaku sesama warga. Dengan adanya individualisme maka orang tidak akan peduli dengan kehidupan bangsa.
4. Mengakibatkan adanya kesenjangan sosial yang tajam antara yang kaya dan miskin, karena adanya persaingan bebas dalam globalisasi ekonomi. Hal tersebut dapat menimbulkan pertentangan antara yang kaya dan miskin yang dapat mengganggu kehidupan nasional bangsa.


Antisipasi Pengaruh Negatif Globalisasi:
1. Menumbuhkan semangat nasionalisme yang tangguh, misalnya mencintai produk dalam negeri.
2. Menanamkan dan mengamalkan nilai-nilai Pancasila dengan sebaik-baiknya.
3. Mewujudkan supremasi hukum, menerapkan dan menegakkan hukum dalam arti seadil-adilnya dan sebenar-benarnya.
4. Selektif terhadap pengaruh globalisasi di bidang politik, ideologi, ekonomi, sosial budaya bangsa.

III. RESPONSE AGAMA ISLAM TERHADAP GLOBALISASI
Perubahan sosial yang berlangsung amat cepat sebagai dampak dari globalisasi, melahirkan berbagai persoalan, baik secara sosial, ekonomi, politik dan agama. Pada satu sisi, era globalisasi memberi peluang lebar bagi semua komunitas untuk ”berbaur” dengan komunitas lain. Disisi lain, globalisasi justru menebar ancaman bagi komunitas yang tidak siap menahan derasnya arus globalisasi yang sedang berlangsung pada saat ini. Berbagai komunitas agama baik di Indonesia maupun di negara-negara lain memiliki keprihatinan bersama menyangkut globalisasi. Pada sebuah konferensi internasional tentang agama dan globalisasi, yang diselenggarakan oleh Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Gadjah Mada University & Indonesian Consortium for Religious Studies (ICRS-Yogya), 30 Juni-3 Juli 2008 di Pasca Sarjana UGM, problem globalisasi agaknya perlu mendapat perhatian serius dari semua kalangan, terutama komunitas beragama.9 Sebab, dampak negatif yang ditimbulkan globalisasi bila ditinjau dari berbagai sisi, baik sosial, budaya, ekonomi, politik maupun media telah melahirkan perilaku negatif pula dalam kehidupan manusia. Demikian pandangan umum yang disampaikan sejumlah panelis yang hadir dalam kegiatan tersebut.
Dengan mengangkat tema, “Globalization : Challenge and Opportunity for Religions” sejumlah panelis memaparkan pandangan-pandangan mereka tentang globalisasi, dan respon terhadapnya dari berbagai perspektif. Sejumlah tokoh dan pemikir baik dari dalam maupun luar negeri hadir dalam kegiatan tersebut. Ini menunjukkan bahwa problem globalisasi tidak hanya menjadi milik satu komunitas atau negara tertentu, tetapi juga menjadi problem semua kalangan
Salah seorang panelis menuturkan, arus globalisasi yang saat ini berkembang merupakan keniscayaan sejarah yang melanda semua umat manusia. Yang perlu dilakukan saat ini adalah menekankan pentingnya pembangunan solidaritas kosmopolitan bagi umat manusia. “Karena itu, proses globalisasi harus didukung dan diarahkan untuk mengembangkan nilai-nilai kemanusiaan” jelas panelis tersebut. Ia juga menegaskan, dalam menghadapi globalisasi, semua individu hendaknya melihat dirinya sebagai bagian dari masyarakat internasional sehingga bisa membuka diri untuk bekerja sama dan memperhitungkan kepentingan pihak-pihak lain di dunia. “Tugas utama masyarakat, khususnya bagi komunitas umat beragama yang terpenting saat ini adalah bagaimana menjadikan dan meningkatkan hubungan antar-agama lebih harmonis agar terhindar dari konflik” jelasnya. Senada dengan panelis tersebut, panelis lain melayangkan pendapat agar agama dapat dijadikan benteng pertahanan yang kokoh membendung arus (negatif) globalisasi.10 Oleh karena itu, umat beragama harus menunjukkan bukti kepada dunia, bahwa agama hingga kini mampu memecahkan persoalan yang dihadapi pemeluknya dan umat manusia seluruhnya. Hal itu bisa dilakukan hanya bilamana agama dapat menyerap nilai-nilai kontekstual yang berkembang.
“Bila tidak, agama akan terus dihadapkan pada posisi krusial dan akan sulit menjadi rujukan bagi pemeluknya dalam menyikapi perubahan kehidupan yang semakin cepat,” jelasnya. Agar agama dapat kontekstual terhadap perkembangan zaman, perlu dikembangkan sikap kritis terhadap segala tafsir agama yang telah kehilangan konteks zaman. Melalui kritik yang proporsional, agama diharapkan dapat berfungsi kembali sebagai jawaban atas persoalan umat manusia, jelasnya. Pandangan kedua panelis di atas, barangkali cenderung berbeda dengan beberapa panelis lainnya. Bila mereka ‘berkompromi’ dengan keniscayaan globalisasi, pendapat berbeda diungkapkan panelis lain. Muhammad Ismail Yusanto, juru bicara Hizbut Tahrir Indonesia mengungkapkan globalisasi perlu “dilawan” karena tidak sesuai dengan nilai-nilai keislaman. Perlawanan terhadap globalisasi, menurut Yusanto, perlu dilakukan misalnya dengan membuang jauh ideologi-ideologi bawaan globalisasi, seperti demokrasi, pluralisme, isu tentang HAM, Dialog Antar Agama, dan pasar bebas (free market). Dan sebagai solusinya, penegakan syariah Islam perlu dilakukan, ungkapnya.11
“Solusi syariah untuk globalisasi setidaknya terdapat dalam tiga agenda. Yakni, menegakkan negara khilafah; menerapkan sistem ekonomi islam dalam negara khilafah, menghapuskan keberadaan PBB berikut seluruh organnya (seperti Bank Dunia dan IMF), seluruh hukum dan undang-undang internasional yang ada (seperti Piagam PBB), dan juga koalisasi negara-negara adidaya seperti WTO dan NATO. Dengan demikian, hanya khilafah-lah solusi permasalahan globalisasi akan terpecahkan’” jelasnya. Lalu bagaimana sebenarnya respons agama terhadap globalisasi?
Dalam konteks agama, misalnya, merujuk pada pandangan sejumlah pemikir keagamaan. Pengaruh globalisasi terhadap agama, setidaknya dapat dilihat dari munculnya dua respons agama yang tampaknya berlawanan. Respon pertama, komunitas agama bisa atau mampu merambah dunia global. Artinya, mereka ‘menerima’ globalisasi sebagai bagian dari proses hidup yang sudah digariskan Tuhan. Dan manusia, sebagai khalifah, ditugaskan untuk “mengawal”-nya. Ada pandangan kultural yang menjadi alasan kelompok ini. Bahwa sejatinya semua umat manusia dengan beragam jenisnya ada dalam kebersamaan. Mereka dapat belajar satu sama lain sehingga dapat menjalin kerja sama sehingga pada akhirnya mengantar umat beragama pada kesatuan kemanusiaan sebagai satu keluarga.
Adapun respon kedua adalah kecenderungan sebaliknya. Yakni kecenderungan komunitas agama tertentu merespons globalisasi dengan menolak, mengasingkan diri sembari menekankan keberbedaan. Fenomena ini, dapat kita lihat dan rasakan dari muncul dan menguatnya fundamentalisme agama, baik di komunitas Islam, Kristen, Hindu, dan agama lainnya serta beragam “fundamentalis” nasionalisme disejumlah tempat. Hal itu menjadi fakta yang tak terbantahkan. Selain itu, lahir pula animo untuk mengglobalkan komunitas agama tertentu, seperti penyebaran idiologi “khilafah” dan juga kristenisasi. Dari kedua pandangan di atas, tentu saja para pemuka agama harus cermat menghadapi permasalahan tersebut. Bila mereka tidak cermat melihat fenomena ini, bukan tidak mungkin yang terjadi justru benturan antar komunitas agama. Alih-alih agama dapat menjadi benteng yang kokoh guna membendung arus globalisasi, yang terjadi mereka justru terjebak dalam pertikaian.
Pada mulanya agama-agama muncul dari unsur kebudayaan sebuah masyarakat sebagai bagian ritus yang bersifat transendental yang didominasi oleh kekuatan mistis. Agama ini lahir dalam bentuk-bentuk yang plural sesuai dengan corak ekonomi sosial tiap-tiap masyarakat pada masanya. Meskipun tidak secara linier bentuk tersebut sesuai dengan kondisi transformasi sosio-ekonominya, setidaknya fakta telah menunjukkan bahwa agama pada era kini telah mengalami perubahan yang cukup signifikan dibandingkan awal kemunculannya. Perubahan non-linier ini kemudian membentuk beragam kategori. Namun, secara general kualifikasinya hanya menjadi dua bentuk yang sekarang ada dalam umat islam. Perspektif ini hampir berlaku pada setiap agama. Demikian pula dengan islam yang berdiri di atas tiga pilar doktrin dasarnya (tauhid, syariat, dan akhlak), dalam perkembangannya mengalami perubahan bentuk aplikasi pemaknaan di kalangan umatnya.
Sehingga dalam menanggapi munculnya globalisasi agama islam memiliki berbagai paradigma antara lain: konservatif, liberalis dan islam ideologis.
Konservatif
Paradigma pertama, islam diasumsikan sebagai agama yang memiliki doktrin dan ikatan-ikatan tradisi lama yang belum mau bersentuhan dengan wacana keilmuan selain islam. Unsur-unsur sosial selain islam dalam hal ini dianggap sebagai bagian yang senantiasa berlawanan bahkan mengancam. Dalam dimensi teologi, Tuhan menempati pokok segala kekuasaan yang telah diterjemahkan dalam kajian-kajian pendahulunya dengan peletakan unsur mazhab yang dianggap representatif. Tuhan dengan segala kekuasannya telah memberikan ukuran dan solusinya sesuai dengan ajaran yang tertulis. Bagi mereka menafsirkan ayat yang berkaitan dengan ketuhanan dengan metode baru adalah kesesatan. Demikian pula dalam bidang syariat yang menjadi pusat kajian hukumnya. Aspek hukum yang telah ada dalam kitab-kitab tersebut sudah menjadi final untuk dijadikan acuan hukumnya. Alasannya, hukum tersebut murni bersumber dari Al-quran dan Al-hadist. Oleh karenannya, tidak ada yang perlu disempurnakan lagi. Realitas sosial politik yang menandai kemunculan hukum-hukum tersebut nyaris tak mendapatkan tempat kajian yang mendalam.
Dalam kategori sosilogis islam seperti di atas, menurut Dr. Ali Syariati (1933-1977), islam hanya menjadi kumpulan-kumpulan dari tradisi asli dan kebiasaan masyarakat yang memperlihatkan suatu semangat kolektif suatu kelompoknya. Islam berisi kumpulan kepercayaan nenek moyang, perasaan individual, tata cara, ritual, aturan, kebiasaan, dan praktik-praktik dari suatu masyarakat yang telah mapan, berlangsung dari generasi ke generasi. Kebiasaan inilah yang biasanya dipelihara oleh penguasa politik untuk melegitimasi kekuasaan. Karena indoktrinasi menjadi bagian yang kuat dalam pemaknaan ajaran agama maka paradigma ini disebut konservatif.
Liberalis
Paradigma kedua, Islam diasumsikan sebagai agama yang dapat berperan menjadi agen perubahan sosial. Dalam pandangan itu, islam bukanlah sekadar kumpulan ritus-ritus seperti yang diasumsikan oleh kaum konservatif di atas, melainkan membentuk karakter sosial yang objektif/ilmiah. Hal ini sudah menjadi pengakuan luas seperti yang dikatakan Dr. Kuntowijoyo, “Objektivitas itu berupa adanya pengakuan akan pluralisme dalam agama, kebudayaan, bahasa, dan warna kulit. Tradisi keilmuan ini bermaksud mempertemukan agama-agama dengan menunjukkan moralitasnya yang objektif. Dalam pemikiran agama, periode ini menghendaki supaya islam juga semakin objektif ke luar dan ke dalam. Dalam dimensi teologi paradigma ini sangat mengedepankan aspek rasionalisme. Teologi bukan semata menjadi objek kajian bagaimana meyakinkan umat secara doktriner, melainkan sebagai pembimbing tindakan praktis sosial. Selain itu, teologi juga harus lepas dari paradigma kekuasaan negara, bahkan harus menjadi bagian transformasi sosial yang terus menyuarakan kepentingan mayoritas umat. Berkebalikan dengan teologi kaum konservatif yang gigih membela Tuhan, mereka justru menginginkan konsistensi menjelmakan nilai tauhid sebagai ajaran yang membebaskan umat dari penindasan kulturan dan struktural.
Dalam dimensi syariat paradigma ini mengambil hukum-hukum islam dari aspek nilai/substansi bukan tekstual kitab-kitab islam lama yang telah di mapankan oleh kalangan konservatif. Al-quran dan Al-Hadist harus ditafsirkan ulang dengan pertimbangan ilmiah teoretis dalam pertimbangan praktis sosialnya. Karena pengaruh wacana ilmu positivis inilah dimensi akhlaknya tidak hanya sekadar berkaitan dengan persoalan etik religius yang tidak membumi melainkan menyentuh persoalan keadilan sosial. Karena paradigma ini mengambil sikap terbuka terhadap semua wacana keilmuan, disebutlah paradigma liberal. Dua paradigma di atas sesungguhnya telah menjadi bagian internal islam di Indonesia. Paradigma pertama biasanya mengakar pada kalangan kelas bawah yang belum sepenuhnya tersentuh oleh tradisi keilmuan positivisme seperti di pesantren atau berakar kuat di kalangan ormas politik yang tidak berkepentingan pada perubahan (status quo). Sementara paradigma liberal lahir dari rahin generasi muda yang cukup paham terhadap wacana islam. Namun, juga tersentuh oleh tradisi positivisme serta memiliki motivasi yang kuat untuk melakukan perubahan sosial. Namun, apakah perkembangan paradigma islam ini hanya akan berhenti di sini saja ? Inilah sesungguhnya yang harus kita kaji secara mendalam. Yang harus diingat adalah bahwa perubahan kajian ijtihad tersebut berlandaskan aspek perubahan sosial dan mengembalikan semangat pembelaan islam terhadap umat manusia. Oleh karena itu, pilhan baru harus segera diadakan sebab situasi pada saat ini telah mengubah transformasi sosial dengan adanya globalisasi.
Islam ideologis
Kalau islam konservatif lahir dan hanya relevan berada dalam kondisi masyarakat agraris tradisional dan islam liberal berada dalam situasi sosial industrial, apakah saat ini globalisasi (kapitalisme neo-liberal) cukup disiasati dengan wacana liberal? Karena persoalannya adalah perubahan sosial, saya kira wacana islam liberal harus diarahkan pada persoalan konkret situasi kontemporer saat ini. Kapitalisme global sebagai persoalan utama setidaknya telah menuntut perangkat sistem yang memihak kaum tertindas. Eksploitasi ekonomi melalui jalan ekspansi modal kenegara-negara berkembang yang terkena imbas krisis dengan kedok memberikan donor lewat IMF dan Bank Dunia adalah persoalan urgent yang menuntut perangkat sistem untuk menghentikan keserakahan kapitalisme baru itu. Isyarat Al-quran, “Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara segelintir orang-orang kaya (pemodal) saja di antara kamu sekalian.” (Q.S. Alhasyr: 7) telah menegaskan bahwa pembelaan terhadap upaya menciptakan keadilan ekonomi menjadi kebutuhan saat ini. Oleh karena itu, kebutuhan melakukan pembaruan wacana di kalangan umat islam tidak boleh berhenti sebatas pembebasan pemikiran seperti yang dilakukan jaringan islam liberal, melainkan harus bertendensi pada praktis sosial.
Lantas, bagaimana respons kita dalam menyingkapi hal ini? Karena konteks persoalannya adalah kepentingan perubahan serta pembelaan sikap, mengambil wacana dari luar islam bukanlah hal yang tabu dan terlarang. Islam dalam rangka menegakkan prinsip awalnya didasarkan nilai dan subtansial semangat perubahan, maka bukan suatu kenaifan bila mengambil sosialisme demokratik sebagai alternatif pembelaan terhadap kapitalisme neo-liberal. Kenapa sosialisme demokratik? Alasannya, ideologi ini walaupun dianggap bangkrut pada tahun 1980-an, namun sesungguhnya masih meyimpan paradigma ekonomi politik yang komprehensif dalam rangka melakukan perlawanan terhadap kapitalisme dibanding dengan ideologi lainnya.12 Namun, apakah islam tidak cukup memiliki basis ideologis untuk mengimbangi kapitalisme? Memang, islam telah lengkap dan komprehensif. Namun, “kesempurnaan” islam hanyalah sebatas dalam tataran teoretis. Pada tataran praktisnya terutama ketika era globalisasi bergerak islam belumlah cukup memiliki konsepsi final dan pengalaman praktik perjuangan melawan hegemoni kapitalisme. Memang, islam pada dasarnya adalah islam. Tidak terkait dengan ideologi dan ajaran lain. Namun, dengan menyebut sosialisme-islam justru kita sedang membenarkan kesejatian islam yang memihak kaum tertindas. Jika hal ini serius kita kaji, secara otomatis persoalan wacana yang selama ini terkesan elitis dan hanya menjadi konsumsi kalangan akademis, sosialisme-islam akan memberikan kontribusi bagi pencerahan dan aksi pembebasan umat sekaligus.
Dalam menghadapi arus globalisasi ini mejadaikan kita harus bersikap kritis dan penuh hati-hati. Menurut Qodri Azizy masyarakat islam dalam menilai globalisasi tersebut terbagi menjadi tiga farian besar:
Sikap dari golongan kaum Muslimin yang anti barat dan anti modernisme.
Kelompok yang terpengaruh oleh modernisasi dan sekulerisasi, kelompok tersebut menjadikan pemisahan antara agama dan politik atau maslah keduniaan lainnya. Kelompok ini menjadikan barat sebagai kiblat dan role mode masa depan atau bahkan menjadikan barat menjadi way  of life.
Kelompok yang bersikap kritis dan dan secara otomatis tidak bersikap anti terhadap barat dan modernisasi. Kelompok tersebut menerima dari barat degan menggunakan penyarinan (filterisasi) dan melakukan pembenahan apabila tidak sesuai dengan prinsip mereka. Kelompok ketiga ini melakukan kerjasama dengan barat dan menunjukan identitasnya. (Qodri Azizy: 2003).
Akibat yang ditimbulkan oleh globalisasi tersebut menyebabkan kemiskinan dan bentuk de-humaniasi yang meluas. Maka respon umat islam terhadap kemiskinan sesuai dengan perkembangan kapitalisme global terbagi menjadi empat paradigma umat islam:
Paradigama tradisionalisme tentang kapitalisme global. Pemikiran tradisionalisme ini tentang kapitalisme global yang menyebabkan kemiskinan adalah merupakan hakekat dan rencana Tuhan. Manusia tidak mengetahui skenario besar dari Tuhan dari perjalanan umat manusia. Masalah kemiskinan dan marginalisasi tidak ada kaitannya dengan globalisasi dan neo-libralisme.
Paradigma modernis terhadap kapaitalisme libral. Paradigma kaum modernis menilai tentang kemiskinan berakar pada persoalan karena ada sikap mental atau budaya ataupun teologi mereka. Kemiskinan tidak ada sangkut pautnya dengan globalisasi dan kapitalisme. Jika kita perlu maka kita perlu menyiapkan umat islam untuk bersaing dalam globalisasi.
Paradigma revivalis terhadap kapitalisme global. Mereka melihat kenapa umat islam mundur merupkan akibat dari banyaknya umat islam memakai ideologi lain sebagai pijakan dasar dari pada Al-Quran. Sedangkan dalam Al-Quran menyediakan petunjuk yang sangat lengkap sebagai fondasi bermasyarakat dan Negara. Globalisasi dan kapitalisme bagi mereka salah satu agenda barat dan konsep non-islami yang di paksakan untuk masyarkat muslim.
Paradigma tranformatif terhadap kapitalisme global. Mereka percaya bahwa yang menyebabkan kemiskinan rakyat, disebabkan oleh ketidak adilan sistem, ekonomi, politik, dan kultur yang tidak adil. Sedangkan globalisasi adalah merupakan proyek kapitalisme yang lain bagi golongan ini menjadikan sebab kemiskinan, marginalisasi, dan mengalienasi masyarakat. Bagi mereka  globalisasi dan kapitalisme merupakan ancaman bagi orang-orang miskin. Karena globalisasi untuk kepentingan dan akumulasi berbagai kapital besar untuk menghancurkan lingkungan hidup, segenap budaya sosial yang mana kehidupan masyarakat bergantung. (Mansuor Fakih: 2002).
Sebagaimana dalam ajaran islam lebih menekankan keseimbangan antara dunia dan akhirat. Dari ajaran tersebut menjadikan kita mampu mendialogkan antara kepentingan dunia dan akhirat. Nilai islam menjadikan landasan, dasar motifasi dan inspirasi kebaikan dan kemajuan dunia. (Qodri Azizy: 2003). Menyadari bahwa globalisasi dengan segala dampaknya pasti menyentuh sendi-sendi agama dan kehidupan beragama. Maka dapat dimengerti jika umat beragama merasa perlu merespons fenomena globalisasi yang melanda kehidupannya. Dampak sampingan globalisasi komunikasi, perdagangan, politik, dan mobilitas internasional, masyarakat semakin sadar akan keberagaman dan urgensi melakukan refleksi kritis atas berbagai asumsi yang selama ini taken for granted.
Proses globalisasi mengakselerasi kesadaran umat akan pluralitas agama. Tradisi-tradisi yang melegitimasi identitas dan homogenitas keagamaan mendapat tantangan serius globalisasi. Kita bukan saja disadarkan akan keniscayaan pluralisme agama, namun juga ada pluralitas dalam pluralisme agama. Perubahan persepsi diyakini akan mempengaruhi berbagai organisasi keagamaan. Sejauh ini, isu globalisasi lebih banyak memunculkan kekhawatiran.13
Pertama, globalisasi dipandang sebagai upaya untuk memperluas model Amerika (the American model) untuk mencakup seluruh dunia. Karena itu, banyak kalangan mengkritik globalisasi sebagai Amerikanisasi, atau ekspansi universal gagasan dan nilai-nilai Amerika. Dengan kata lain, globalisasi tidak lebih dari bentuk lain kolonialisme atau pasca-kolonialisme. Pertanyaan yang selalu menghantui adalah, bagaimana pengaruhnya terhadap negara-negara yang bercita-cita untuk membangun negara bangsa (nation state) dan mencapai perkembangan ekonominya, seperti negara-negara muslim?
Kedua, dalam perkembangannya globalisasi akan menghapus batas negara. Beberapa pakar menduga, 15 jaringan global akan menguasai pasar dunia, dan pemilik jaringan itu akan menjadi tuan dunia. Itu berarti, aktivitas perekonomian dunia hanya akan ada di tangan sekelompok orang. Sebagai ilustrasi, lima negara (AS, Jepang, Perancis, Jerman, dan Inggris) merupakan tempat dari 172 dari 200 perusahaan terbesar dunia. Mereka menguasai ekonomi dunia dan akan memperkuat kontrolnya. Dengan pemberlakuan ekonomi tanpa batas, perusahaan-perusahaan raksasa itu akan menguasai seluruh kekayaan dunia. Di antara konsekuensi sosial dari konsentrasi kekayaan dunia yang eksesif itu adalah makin luasnya jurang pemisah antar-bangsa dan antar-segmen suatu masyarakat. Pada gilirannya hal itu akan akan meningkatkan angka kemiskinan. Sebab, prinsip ekonomi global adalah "memproduksi sebanyak mungkin barang dengan sedikit pekerja" (producing more goods with fewer workers).
BAB. III
PENUTUP
Kesimpulan
Globalisasi itu bisa berkembang diranah ekonomi, media dan lain sebagainya, Dampak negatif dari adanya globalisasi tersebut, diantaranya yaitu masyarakat yang terpengaruh budaya-budaya luar akan mengikuti apa yang menurut mereka baru., terutama bagi umat Islam, era globalisasi ini merupakan tantangan yang sangat berat, karena berbagai macam godaan dan cobaan yang akan dihadapinya. Oleh karena itu di era ini, kita harus bisa menjaga diri dan iman kita, agar tidak terlalu terlarut didalamnya.
Sejumlah panelis memaparkan pandangan-pandangan mereka tentang globalisasi, dan respon terhadapnya dari berbagai perspektif. Sejumlah tokoh dan pemikir baik dari dalam maupun luar negeri hadir dalam kegiatan tersebut. Ini menunjukkan bahwa problem globalisasi tidak hanya menjadi milik satu komunitas atau negara tertentu, tetapi juga menjadi problem semua kalangan. Dari berbagai pandangan para tokoh-tokoh itu dapat kita simpulkan bahwa solusi yang mereka berikan untuk menghadapi munculnya fenomena globalisasi memiliki pandangan yang sangat beragam. Mulai dari menolak dengan keras, ini di tunjukkan oleh para kaum islam konservatif dan para fundamentalis yang menganggap bahwa globalisasi adalah sebuah penyakit yang dibawa oleh negara Amerika Serikat untuk menguasai dunia ini dengan sisitem ekonominya yang liberal.
Selain para konservatif dan fundamentalis ada juga golongan orang yang tidak menolak adanya globalisasi tetapi juga tidak sepenuhnya menerima semua yang diusung oleh globalisasi. Golongan ini di dominasi oleh kalangan moderat yang menerima adanya globalisasi tetapi dengan syarat tidak merugikan kelompoknya. Orang-orang seperti ini lebih toleran dan mau menerima adanya globalisasi tetapi mereka melakukan penyaringan yang ketat terhadaaap dampak dari globalisasi.
Respon yang ketiga yaitu yang menghendaki globalisasi, sebagai sarana untuk melakukan perubahan dan menuju pada kecanggihan teknologi dan kemajuan ilmu pengetahuan. Mereka sangat mengunggulkan akan adanya tradisi keilmuan. Tradisi keilmuan ini bermaksud mempertemukan agama-agama dengan menunjukkan moralitasnya yang objektif. Dalam pemikiran agama, periode ini menghendaki supaya islam juga semakin objektif ke luar dan ke dalam. Dalam dimensi teologi paradigma ini sangat mengedepankan aspek rasionalisme. Teologi bukan semata menjadi objek kajian bagaimana meyakinkan umat secara doktriner, melainkan sebagai pembimbing tindakan praktis sosial. Selain itu, teologi juga harus lepas dari paradigma kekuasaan negara, bahkan harus menjadi bagian transformasi sosial yang terus menyuarakan kepentingan mayoritas umat.









Daftar pustaka

Abdullah, Abdul Rahman Haji. 1997. Pemikiran Islam di Malaisia. Jakarta : Gema Insan Press.
Abidin, Danil Zainal. 2007. 7 Formula Individu Cemerlang. Jakarta: Hikmah (Pt. Mizan Publika).
Azizy, Qodri. 2003. Melawan Globalisasi: Reinterpretasi Ajaran Islam Persiapan SDM dan Terciptanya Masyarakat Madani. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Fakih, Mansour. 2001. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Yogyakarta: Insist Press berkerjasama dengan Pustaka Pelajar.
Hizbut Tahrir. Mafahim Siyasiyah li Hizb al-Tahrir. (Tanpa Tempat Penerbit : Hizbut Tahrir, 2005).
http://www.pendidikanislam.net/index.php/makalah-makalah tertulis/ 294- tantangan globalisasi -terhadap- ummat.
Madjid, Nurcholish. 2008. Islam Kemoderenan dan Keindonesiaan. Bandung : Mizan (Pt. Mizan Pustaka).
Tilaar, HAR. 2002. Perubahan Sosial dan Pendidikan: Pengantar Pendagogik Tranformatif untuk Indonesia. Jakarta: Grasindo.
Wahid, Abdurrahman. 1999. Pesantren Masa Depan. Bandung : Pustaka Hidayah.
——-. 2002. Islam Sebagai Alternatuif, kata pengantar dalam “Islam Kiri: Melawan Kapitalisme Global dari Wacana Menuju Gerakan”, Eko Prasetyo, Yogyakarta: Insist Press berkerjasama dengan Pustaka Pelajar.

Komentar

Postingan Populer