“ FUNDAMENTALISME SEBAGAI FENOMENA AGAMA, BUDAYA DAN BERBAGAI REAKSI YANG MUNCUL TERHADAP FUNDAMENTALISME ”

MAKALAH INDIVIDU TEKNIK PENULISAN ILMIAH

“ FUNDAMENTALISME SEBAGAI FENOMENA AGAMA, BUDAYA DAN BERBAGAI REAKSI YANG MUNCUL TERHADAP FUNDAMENTALISME ”





Oleh :

AHMAD SHOLIKIN

(070913057)

ILMU POLITIK


FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS AIRLANGGA SURABAYA

2010
Fundamentalisme islam merupakan fenomena sosial diberbagai negara sebagai akibat dari derasnya arus modernisasi, dan ketidakpuasan terhadap nilai-nilai sosial yang dianggap telah menyimpang dari ajaran islam yang sesungguhnya. Fundamentalisme mengambil bentuk perlawanan terkadang dalam bentuk yang sangat radikal. Acuan yang digunakan sebagai ukuran apakah nilai-nilai sosial yang nampak itu bagus ataukah tidak, perlu dilawan atau tidak adalah Al-Qur’an dan Hadist. Bagi kaum fundamentalis, islam adalah satu-satunya jalan hidup dan harus ditegakkan tanpa mempertimbangkan pengaruhnya terhadap hak-hak dan kesejahteraan kelompok lain. Jalan lurus (al-siratal mustaqim) telah ditentukan oleh Alloh. Tuhan mewujudkannya melalui seperangkat perintah hukum positif yang menunjukkan jalan yang benar dan bertindak pada semua keadaan. Satu-satunya tujuan hidup manusia dimuka bumi adalah merealisasikan perwujudan Tuhan dengan melaksanakan hukum Tuhan secara patuh dan taat. Kehidupan yang tunduk dan patuh pada hukum Tuhan dianggap lebih superior dari pada yang lainnya. Para pengikut fundamentalis menganggap bahwa semua jalan hidup yang dianut oleh orang lain dianggap kafir, munafik atau pun fasik. Dengan mengikatkan diri pada kepastian hukum yang telah ditetapkan kaum yang terbimbing dan yang sesat lebih mudah dibedakan. Kaum yang terbimbing adalah yang mematuhi hukum-hukum Tuhan, sedangkan kaum tersesat adalah yang menolak hukum-hukum Tuhan, berupa melemahkan maupun mendebat hukum Tuhan.
Kaum fundamentalis merasa lebih terbimbing dan lebih superior karena Tuhan selalu berada dipihaknya. Kaum muslim fundamentalis juga merasa kesempurnaan dan kekekalan Tuhan dapat digapai sepenuhnya dimuka bumi ini. Seolah kesempurnaan Tuhan diletakkan di dalam hukum Tuhan. Sehingga kesan yang terbangun adalah kaum fundamentalis dapat menciptakan tata sosial yang mencerminkan kebenaran illahi.1 Islam dipandang tidak hanya sebagai agama unggulan atau suatu keyakinan dan tata ibadah tapi juga sebagai pandangan hidup dan tata budaya yang mampu dan layak menata seluruh umat manusia. Pada saat ini jika orang berbicara mengenai fundamentalisme maka yang ada di dalam pikirannya pasti orang-orang yang kolot, tidak berpengetahuan, bodoh, dan orang-orang yang berprilaku menyimpang. Sungguh itu merupakan tafsiran orang-orang awam dan yang lebih parah lagi adalah mereka mengidentikkan fundamentalisme dengan orang-orang yang beragama islam. Maka dari itu kami akan menjelaskan mengenai seluk-beluk lahirnya fundamentalisme dan juga latar belakang munculnya faham fundamentalisme. Penggunaan istilah fundamentalise sebenarnya sangat tidak tepat apabila digunakan untuk menyebut orang-orang muslim yang bersifat radikal.
Hubungan antara wacana terorisme dengan wacana fundamentalisme islam memang sangat rancu: sebatas prediksi, opini dan asumsi. Amerika tidak mempunyai bukti yang kongkret untuk mengkambing hitamkan kelompok Usama Bin Laden. Bahkan rumor yang mengudara pun berbeda: “Yahudilah biang keladinya”. Sebab, konon nomor pesawat yang menabrak WTC menunjukkan sandi yang mengarah ke Yahudi. Dan seperti telah diatur, konon warga Yahudi yang bekerja di WTC banyak yang  mengambil cuti sebelum kejadian itu. Namun, kini tuduhan tanpa bukti itu cukup jelas pada awal september 2002 memberitakan bahwa dua anggota jaringan Al-Qaeda mengaku bahwa merekalah yang merencanakan serangan tersebut. Kalau kabar itu benar, maka hubungan terorisme dengan fundamentalisme islam yang sebelumnya kabur, dan kini mulai tampak jelas.
Oleh karena itu, mengingat tetap bergejolaknya fenomena fundamentalisme ini hingga kini, dan kemungkinan akan berestafet di masa mendatang, maka pembahasan akar-akar fenomena muslim fundamentalis mutlak diperlukan. Apa yang dimaksud dengan muslim fundamentalis? Apa saja pemikiran dan tindakan mereka? Mengapa fenomena muslim fundamentalis ini bisa muncul dan apa sajakah tindakan-tindakan yang dilakukan oleh kaum fundamentalisme agama? Faktor apa sajakah yang melatarinya? Bagaimana reaksi yang muncul dari kalangan islam moderat Indonesia, dari pemerintahan Indonesia dan dari kalangan intelektual islam yang ada di dunia terhadap fundamentalisme agama yang muncul?
Demi hasil pembahasan komprehensif, penulis memandang perlu penerapan paradigma komplek sebagai pisau analisa-kritik. Yaitu, paradigma terbuka-luas integral plural yang mengarah kepada paradigma obyektif, dengan menganalisa dan menginterpretasi obyek/fenomena secara kritis, dari berbagai aspek yang berinterrelasi (seperti aspek politik, sosial, ideologi epistemologi, psikologi, peristilahan dll). Sebab, fenomena ini adalah fenomena manusia yang komplek dan mungkin timbul dari berbagai dimensi, hingga perlu ditilik secara kritis dari berbagai dimensi pula. Di antara dimensi yang perlu ditilik dari fenomena muslim fundamentalis adalah dimensi peristilahannya
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: mengetahui tentang paham fundamentalisme agama. Mampu memahami makna fundamentalisme dan perkembangannya dalam masyarakat. Manfaat yang didapat oleh mahasiswa adalah: mahasiswa mengetahui faham fundamentalisme agama dan juga hal-hal yang berkaitan dengan faham tersebut. Mahasiswa mampu mendiskripsikan tentang faham fundamentalisme dengan baik dan benar. Dengan mengadakan suatu penelitian tentang faham fundamentalisme ini mampu mengembangkan keterampilan mahasiswa. Dapat dijadikan referensi maupun untuk menambah wawasan dengan kemajuan teknologi yang telah ada, serta membantu dalam menerapkan dalam masyarakat.
Dalam membuat tulisan ini kami sebagai penulis memiliki asumsi dasar mengenai fundamentalisme yaitu: fundamentalisme, pada dasarnya, adalah sebuah paham “kembali ke akar” yang cenderung kaku. Dengan kata lain, hanya pendapat yang memegang teguh pada al-kitab yang akan diterima dan diamalkan. Meskipun demikian, istilah ini kemudian mulai mengalami pergeseran makna. Karena sifatnya yang cenderung kaku dan menolak perubahan, para penganut paham ini cenderung mempertahankan status quo atas keyakinan mereka. Faham-faham fundamentalisme yang berkembang dan muncul di era sekarang ini merupakan fenomena keagamaan, sosial, dan budaya. Fundamentalise juga sangat identik dengan sebuah faham yang mengutamakan kekerasan dan radikalisme.
Memahami Fundamentaliasme Agama.
Secara historis, istilah “fundamentalisme” pada dasarnya diatributkan pada sekte protestan yang menganggap injil bersifat mutlak kebenarannya dan sempurna dalam arti literal dan tekstual sehingga mempertanyakan satu kata yang ada dalam injil dianggap dosa besar dan tidak terampuni. Dalam hal ini, kamus Oxford mendefinisikan kata fundamentalisme sebagai “pemeliharaan secara ketat atas kepercayaan agama tradisional seperti kesempurnaan injil dan penerimaan literal ajaran yang terkandung didalamnya sebagai fundamental dalam pandangan Kristen protestan. Konsep asal fundamentalisme itu sekarang menjadi bagian di masa lalu, selama lebih dari dua setengah dekade, interpretasi baru dari istilah ini menjadi populer karena disinonimkan dengan ekstremisme dan radikalisme yang berakar dari in-toleransi agama.2 Berbicara mengenai istilah fundamentalisme, banyak para sarjana (khususnya sarjana muslim) mengakui bahwa penggunaan istilah “fundamentalisme” sangat problematik dan tidak tepat. Kaum Syiah yang dalam suatu pengertian umumnya dikenal sebagai para fundamentalis, tidak terikat pada penafsiran harfiah Al-Qur’an.
William montgomery watt mendefinisikan bahwa kelompok fundamentalis islam adalah kelompok muslim yang secara sepenuhnya menerima pandangan dunia tradisional serta berkehendak mempertahankannya secara utuh. Fazlur rahman sendiri tampaknya kurang suka memakai istilah fundamentalisme, lebih suka memakai istilah revivalism. Seperti dalam bukunya Revival and Reform in Islam. Rahman yang digolongkan sebagai pemikir neo-modernis mengatakan bahwa pergerakan reformasi sosial pra-modern yang menghidupkan kembali makna dan pentingnya norma-norma Al-Qur’an disetiap masa. Mereka adalah kelompok pra-modern “fundamentalis-tradisional-konservatif” yang memberontak melawan penafsiran Al-Qur’an yang digerakkan oleh tradisi keagamaan, sebagai perlawanan terhadap penafsiran yang disandarkan pada hermeneutika Al-Qur’an antar teks (inter-textual). Menurut Rahman, dalam daftar kosa katanya, “fundamentalis” sejati adalah orang yang komitmen terhadap proyek rekontruksi atau rethinking (pemikiran kembali).3 Fazlur Rahman menggunakan istilah kebangkitan kembali ortodoksi untuk kemunculan gerakan fundamentalisme islam. Gerakan ortodoksi ini bangkit dalam menghadapi kerusakan agama dan kekendoran serta degenerasi moral yang merata di masyarakat muslim di sepanjang propinsi-propinsi Kerajaan Utsmani (Ottoman) dan di India.4 Ia menunjuk gerakkan Wahabi yang merupakan gerakan kebangkitan ortodoksi sebagai gerakan yang sering dicap sebagai fundamentalisme.
Fundamentalisme merupakan salah satu fenomena abad 20 yang paling banyak dibicarakan. Fudamentalisme selalu muncul dalam setiap agama besar yang ada di dunia, tidak hanya Kristen dan Islam, fundamentalisme juga terdapat pada agama Hindu, Budha, Yahudi dan Konfusianisme. Sehingga belum ada definisi yang jelas megenai istilah “fundamentalisme” itu sendiri dikarenakan kemunculannya bermula pada pengistilahan yang dipakai oleh kaum protestan Amerika awal tahun 1900-an untuk membedakan diri mereka dari kaum protestan yang lebih liberal. Sehingga sejak saat itu, istilah “fundamentalisme” dipakai secara bebas untuk menyebut gerakan-gerakan purifikasi (pemurnian ajaran) yang terjadi diberbagai agama dunia dan mempunyai pola-pola tertentu dikarenakan fundamentalisme tersebut merupakan mekanisme pertahanan (defense mechanism) yang muncul sebagai reaksi atas krisis yang mengancam.
Fundamentalisme adalah sebuah gerakan dalam sebuah aliran, paham atau agama yang berupaya untuk kembali kepada apa yang diyakini sebagai dasar-dasar atau asas-asas (fondasi), oleh sebab itu pengikut kelompok-kelompok paham ini seringkali berbenturan dengan kelompok-kelompok lain bahkan yang ada dilingkungan agamanya sendiri, dikarenakan anggapan bahwa diri mereka sendiri yang lebih murni dan paling benar daripada lawan-lawan mereka yang iman atau ajarannya telah “tercemar”. Ini semua biasanya didasarkan pada tafsir atau interpretasi secara harafiah semua ajaran yang terkandung dalam kitab suci atau buku pedoman lainnya.
Fundamentalisme Sebagai Fenomena Keagamaan
George Simel sebagaimana dikutip oleh Soetandyo Wignjosoebroto mengatakan bahwa semua fenomena dan atau prilaku sosial itu bermula dari apa yang ada dalam pikiran individu. Bertolak dari tesis ini jika dicermati maka tidak heran jika fundamentalisme dengan ideologi yang mereka fikirkan akhirnya menimbulkan fenomena sosial yang unik seperti terjelma dalam majelis mujahidin Indonesia (MMI), fron pembela islam (FPI), jema'at Islamiyah (JI), Hizbut tahrir (HT), partai keadilan sejahtera (PKS) dan banyak lagi yang lainnya.5
Dari beberapa organisasi ini semuanya mempunyai agenda yang berbeda-beda seperti memperjuangkan syari'at islam, penegakan khilafah islamiyah dan berbagai agenda yang lainnya namun semuanya bermuara pada satu hal yaitu kembali kepada Al-Qur'an dan al-Sunnah. Masing-masing dari organisasi ini meyakini bahwa hukum Allah dapat menjadi solusi dari berbagai probelematika yang ada pada saat ini. Pemahaman seperti ini akan dengan mudah menggiring pada sikap keberagamaan yang rigid - dan tentunya tanpa menafikan efek positifnya. Bentuk kekakuan dari sikap ini juga tercermin dari aksi-aksi mereka yang tanpa ada kata-kata kompromi seperti penutupan paksa dan swiping yang dilakukan oleh front pembela islam di berbagai tempat hiburan di Jakarta pada bulan ramadhan lalu. Mereka in-toleran terhadap faham yang mereka anggap tidak sesuai dengan apa yang mereka fikirkan seperti fatwa mati oleh Forum Ulama Umat Indonesia (FUUI) atas Jaringan Islam Liberal (JIL) di masjid al-Fajar Bandung pada tanggal 30 November 2002.
Fundamentalisme mempunyai konotasi yang sangat dekat dengan istilah radikalisme.6 Pengeboman di Hotel Marriot dan juga pengeboman sebelum dan sesudahnya mengindikasikan bahwa gerakan “radikalisme agama” menjadi sebuah kekuatan yang laten, muncul secara tiba-tiba. Kekerasan sering dijadikan alat yang sangat ampuh untuk memenuhi keinginan beberapa individu atau kelompok fundamentalis terhadap masalah yang begitu kompleks. Fenomena ini menjadi semakin diperparah dengan dikumandangkannya genderang perang melawan terorisme oleh presiden Amerika serikat, George W bush paska 11 september 2000 menyusul penahanan majelis mujahidin Indonesia Abu bakar ba’asyir, tindakan represif terhadap gerakan-gerakan seperti front pembela islam dan berbagai fenomena yang lainnya. Selain dalam bentuk gerakan sebagaimana di atas, menurut Khursid Ahmed fundamentalisme islam Indonesia juga menuangkan gerakannya dalam dua aspek yang lainnya yaitu aspek dakwah dan politik. Dalam aspek dakwah sebagai contoh, fenomena munculnya gerakan dakwah seperti Hibut Tahrir (HT) yang membentuk opini publik supaya negara mampertimbangkan tatanan pemerintahan khilafah dimana isu-isu syari’at islam ada di dalamnya dan tentu saja sudah menjadi bagian dari gerakan fundamentalisme islam. Dalam aspek politik terlihat dari fenomena masuknya partai keadilan sejahtera (PKS) yang memperjuangkan islam dalam wilayah keputusan dan kebijakan negara lewat panggung politik. Dalam tatanan ini gerakan fundamentalis menghendaki supaya islam dijadikan sebagai tatanan kenegaraan dan kebangsaan. Islam dianggap sebagai jalan keluar (way of life) atas kondisi dan persoalan-persoalan absurd yang dihasilkan oleh negara. Tentu saja dengan penafsiran yang literal, ortodoktif, dogmatis, sakral dan sebagainya.
Berbicara mengenai istilah fundamentalisme, banyak para sarjana (khususnya sarjana muslim) mengakui bahwa penggunaan istilah “fundamentalisme” sangat problematik dan tidak tepat. Kaum Syiah yang dalam suatu pengertian umumnya dikenal sebagai para fundamentalis, tidak terikat pada penafsiran harfiah Al-Qur’an. Fundamentalisme islam bukanlah bayi yang baru lahir abad ke 19 atau 18, melainkan ia sudah ada sejak abad ke 6 dan 7. Pada jaman-jaman awal perkembangan islam, telah muncul perpecahan di tengah umat. Perpecahan awal tersebut sudah terjadi ketika Nabi wafat. Umat islam saat itu terpecah setidaknya dalam tiga kelompok untuk menentukan siapa pengganti Nabi. Perpecahan itu semakin nyata ketika Khalifah Utsman memerintah dan akhirnya terbunuh oleh sebuah gerakan pemberontakan yang menganggap Utsman nepotis. Khalifah Utsman kemudian digantikan oleh Ali. Pada masa Ali inilah terjadi perang Siffin yang sangat terkenal dengan arbitrasenya. Dari sana pula umat islam semakin terpecah dalam tiga kelompok besar. Salah satu kelompok yang sangat radikal adalah khawarij. Kelompok khawarij ini banyak disebut sebagai cikal bakal fundamentalisme islam. Kelahiran kelompok khawarij sendiri disebut sebagai fitnatul qubro (fitnah besar). Khawarij melawan kelompok Muawiyah (pendukung Utsman) dan juga kelompok Ali. Maraknya terorisme dan radikalisme yang berasal dari fundamentalisme islam membuat banyak kalangan ketakutan atas memudarnya citra islam yang baik, damai, dan mengayomi semua umat manusia. Lalu dibuatlah sebuah teori, bahwa fundamentalisme islam tidak ada hubungannya dengan islam itu sendiri; fundamentalisme islam adalah fenomena baru yang muncul di abad 19 atau 18; fundamentalisme hanyalah semacam reaksi terhadap tatanan kehidupan yang lebih global saat ini. Orang-orang menyebut fundamentalisme islam sebagai gerakan pembebasan ketertindasan dari pihak barat yang hegemonik dan dominatif. Hampir senada dengan itu, Karen amstrong dan kawan-kawan melihat fenomena fundamentalisme sebagai reaksi terhadap modernitas yang semakin meminggirkan peran agama dalam kehidupan.
Menurut Armstrong, The Beattle for God, perayaan modernitas dan pengagungan subjek manusia ternyata mengosongkan relung kultur manusia.7 Berbeda dengan kaum fundamentalis dari golongan lain, fundamentalis islam lahir dari keterpurukan akan kedzaliman dan penindasan. Akar-akar imprealisme yang mencengkram jantung negeri-negeri ahli qur’an membuat bangkitnya pergerakan-pergerakan yang mengatas namakan pembelaan terhadap nilai-nilai agama dan aqidah yang terancam oleh para penindas. Pembentukan ARAMCO (Arabian American oil company) di Saudi Arabia yang notabene menguntungkan pihak Amerika dan merugikan rakyat Saudi telah melahirkan seorang Osama bin Ladin yang menentang imprealisme Amerika di Saudi Arabia. Penjajahan yang dilakukan Inggris di mesir melahirkan seorang Mujaddid Hasan al Banna yang mendirikan Ikhwanul Muslimin. Konspirasi zionis di palestina telah membakar semangat kaum muda palestina dengan HAMAS, brigader al aqsha. Kaum fasis Italia yang menginvasi Libya telah membuat Syeikh Umar Al Mukhtar (lion du dessert) mengangkat senjata. Seperti hukum Archimedes, jika sebuah benda di masukkan ke dalam air, maka tekanan yang diberikan sama besarnya ke permukaan air, sama halnya, ketika kaum penindas mendzalimi kaum muslim, mereka tidak sadar bahwa mereka telah melahirkan pergerakan dan harakah-harakah yang dengan gigih mempertahankan nilai-nilai luhur aqidah dan harga diri mereka dan jelaslah jawaban islam terhadap hal ini, perlawanan dan pergerakan militansi pengusiran, pengeksploitasian bangsa dan tanah air telah menbangunkan kaum fundamentalisme untuk bergerak.
Fundamentalisme Sebagai Fenomena Budaya
Dalam budaya politik barat itu tidak dirasakan atau dipahami bahwa fenomena pelaku bom bunuh diri adalah islam itu sendiri, yang merupakan budaya yang mengakar dalam hati: dari Pakistan ke Chechnya, dari Afghanistan ke Lebanon, dari Balkan ke Palestina. Ini adalah norma sosial dari perilaku, sebuah refleksi budaya masyarakat yang menguduskan sebagai bentuk yang paling mulia dalam perjuangan melawan kafir, dan ini menunjukkan, ketika mereka menyatakan secara terbuka, sebuah "masyarakat yang sehat secara mental”.8 Namun, budaya politik barat menolak untuk memahami bahwa ini adalah fenomena yang lebih luas dan lebih dalam dari apa yang kita ingin percaya. Ini bukan masalah fanatik sedikit, dan itu bukan masalah minoritas ekstremis, hal ini didukung dengan antusiasme yang sangat banyak dan dipuji oleh mayoritas bangsa Arab dan muslim di seluruh dunia.
Ini kesalahan budaya, gambar cermin dan pendekatan politik yang benar dan diperparah oleh era globalisasi, yang menganggap dunia politik bersatu, dan membayangkan bahwa jika kita semua memakai kain modis yang sama, dan semua berbicara dengan bahasa Inggris, maka kita semua sama budayanya, dan kegiatan ditujukan pada target politik yang sama, dan kita semua berusaha untuk solusi politik yang sama, dan kita semua memiliki intensions baik yang sama untuk mengakhiri konflik.9 Namun, ini benar-benar keliru. Kita benar-benar tidak sama secara kultur, dan tidak ditujukan pada target politik yang sama dan solusi yang sama. Situasi di Irak mengungkapkan fenomena kesenjangan budaya yang dalam, yang tidak dipahami di barat. Sementara Amerika Serikat mencoba dengan begitu keras untuk membawa demokratisasi bagi rakyat Irak, yang mereka inginkan adalah aturan islam. Namun, islam dan demokrasi sama sekali tidak kompatibel, dan saling meyakinkan. Hal yang sama berlaku untuk modernitas, yang dianggap sebagai ancaman bagi peradaban islam. Sikap permisif dan materialisme adalah bencana, karena telah menempatkan manusia dan alasan aturan di pusat, bukan penyerahan total dan pengabdian kepada Allah. Budaya yahudi-kristen menginternalisasi rasa bersalah (versi yahudi: "kami telah berbuat dosa, kami telah melanggar, kami telah melakukan kejahatan," dan waktu semua mencari moral pengambilan stok versi kristen adalah:. "MEA culpa")10. Budaya politik barat berpendapat bahwa satu pihak tidak dapat sepenuhnya benar sementara yang lain benar-benar salah. Ia mencoba untuk menyelidiki jiwa dan batin, untuk memahami sisi lain, dan bertanya apa yang menjadi tanggung jawabnya?
Sebaliknya, budaya politik Arab islam mengesampingkan rasa bersalah: Apakah saya punya masalah? Anda bersalah Arab muslim tidak memiliki penyesalan bersalah terhadap orang luar, tentu tidak untuk berbagi rasa bersalah dengan mereka. Mereka tidak merasa malu terhadap kafir. Mereka tidak menyalahkan diri mereka sendiri dan mereka selalu merasa benar. Salah satu aspek yang sangat mencolok dalam pergerakan fundamentalis di agama yahudi, kristen dan juga agama islam adalah penolakan akan sistem budaya yang mengesampingkan kemurnian dan mendorong terjadinya pembauran, tetapi mereka juga mengkritik para tradisionalis yang tidak kritis.
Para ilmuan telah banyak menemukan inovasi-inovasi yang sukses dalam sistem budaya atau paling tidak pada sub-sistem budayanya.gerakan-gerakan budaya itu antara lain sebagai berikut: nativistic movement, eeform movement, cargo cult, religius revival, messiamic movement, utopian comunity, sect formation, mass movement, revolutiondan charismatic movement, dan masih banyak lagi gerakan-gerakan budaya yang lainnya.11 Walaupun gerakan-gerakan diatas lebih tampak sebagai gerakan serakan fundamentalisme agama akan tetapi sebanarnya gerakan-gerakan ini merupakan bentuk dari komunitas yang identitas budaya yang baru.
Para pemimpin kelompok fundamentalis islam teroris adalah anggota kelas-kelas menengah dan atas. Mereka memiliki pendidikan universitas dan banyak dengan gelar doktor, adalah dokter dan insinyur. Mereka tidak pernah menyatakan bahwa alasan untuk aktivitas mereka kemiskinan atau kebodohan. Mereka berbicara Crusaderism barat, yang mereka ingin lawan, dan agresi Israel yang mereka cita-cita untuk mereka hancurkan. Mereka tidak memiliki program untuk kemajuan sosial, ekonomi kesejahteraan, meningkatkan kesehatan, perluasan pendidikan yang ditujukan kepada massa. Pembunuhan dalam serangan teroris 11 september 2000 yang terjadi di barat pelakunya dalam kesejahteraan ekonomi, dan memiliki pendidikan tinggi. Mereka tidak miskin atau sengsara. Kepemimpinan al-Qa'idah membuktikan kenyataan ini dengan jelas. Usama bin laden adalah multi jutawan dengan gelar MA di bidang administrasi publik dari Universitas Jeddah. Wakil-Nya, Ayman al-Zawahiri, adalah seorang dokter bedah, dari kelas atas di Mesir. Hal yang sama berlaku untuk para pemimpin lainnya. Apa yang memotivasi mereka adalah kebencian mendalam untuk semua apa budaya barat singkatan. Ini adalah alasan mengapa ini benar-benar salah dan tidak berguna untuk memperbaiki profil dari pembom bunuh diri. Setiap orang dapat berpotensi pembom bunuh diri: wanita, orang tua dan anak-anak. Bahkan orang islam yang damai, lahir dan tinggal di barat, jika diperlukan akan melakukan tindakan bom bunuh diri yang sanngat mengerikan, dengan menyebut nama Allah.
Reaksi dari kalangan intlektual islam di dunia tentang berkembangnya fenomena fundamentalisme. Tentang isu fundamentalis dikalangan para pemikir islam sebagian ada yang mendukung dan sebagian lagi menolak. Para pemikir yang mendukung adalah Hassan al-Banna, Abul A’la al-Maududi, Sayyed Qutb dan beberapa tokoh yang lainnya. Pada umumnya tokoh-tokoh ini menyerukan kembali kepada Al-Qur’an dan As-sunnah. Para pemikir islam yang menolak seperti Taha Husain, Ali Abd Raziq dan Qosim Amin. Mereka dapat digolongkan dalam kelompok sekularis, mereka yakin akan otoritas pikiran manusia dalam kehidupan umum dan membatasi peran agama hanya pada bentuk ritual yang bersifat individual. Kelompok ini berpendapat bahwa islam merupakan ajaran agama yang mencakup semua aspek kehidupan, baik umum maupun pribadi. Kelompok lain yang menolak adalah kelompok modernis. Bagi kelompok ini islam harus diaplikasikan dalam semua aspek kehidupan dan mereka cenderung menginterpretasikan ajaran islam tertentu dengan menggunakan berbagai pendekatan termasuk pendekatan dari barat. Yang tergolong dalam kelompok ini adalah Sayyed Ahmad Khan, Khairuddin Tunisi, Rifat al-Tahtawi, Muhammad Abduh, Fazlur Rahman dan Muhammad Arkoun. Yang terkhir yang menolak fundamentalisme adalah golongan konservatif yaitu para ulama’ Azhar pada akhir abad 19 awal abad 20.
Fundamentalisme islam di Indonesia tidak begitu saja berjalan dengan mulus dalam perjalanannya. Karena sikap rigid, tekstual, keras dan tanpa komprominya tidak hanya mendapat simpati dari berbagai pihak yang mendukungnya namun juga banyak menuai perlawanan dari kelompok-kelompok lain yang tidak sejalan dengan ideologinya. Perlawanan terhadap fundamentalisme islam di Indonesia yang muncul dari kelompok islam moderat Indonesia dan juga pemerintah di Indonesia.
Dari kelompok Islam Moderat Indonesia.
Respon dari kelompok islam moderat yang ada di Indonesia menuai berbagai perlawanan akan tetapi juga banyak dari mereka yang mendukung akan gerakan fundamentalisme yang berkembang di Indonesia. Fundamentalime islam di Indonesia mendapatkan perlawanan yang cukup sengit dari kalangan intelektual islam moderat di Indonsia. Salah satu yang menjadi lawan dari gerakan fundamentalisme islam adalah Jaringan Islam Liberal (JIL). Dalam salah satu situs islam.lib dinyatakan secara terang-terangan bahwa lahirnya JIL sebagai respons atas bangkitnya “ekstrimisme” dan “fundamentalisme” agama di Indonesia seperti munculnya kelompok militan islam, perusakan gereja, lahirnya sejumlah media penyuara aspirasi “Islam militan”, serta penggunaan istilah ’’jihad’’ sebagai dalil untuk melakukan perilaku kekerasan.12 Pertentangan dan polemik antara kedua kelompok ini terus berlangsung hingga puncaknya pada penghakiman pada Ulil dan teman-teman oleh FUUI atas tuduhan menghina pada Allah, Rasulullah, umat islam dan para ulama dengan hukuman mati dan menuntut para penegak hukum untuk membongkar jaringan ini. Aduan balik ke polisi dari JIL menimpa tokoh fundamentalis Fauzan al-Anshori Ketua Departemen Data Majelis Mujahidin Indonesia. Selain JIL masih banyak lagi kelompok atau organisasi Islam yang tidak sejalan dengan fundamentalisme ini seperti PMII, HMI, KAMMI, IMM dan lainnya. Pada intinya kelompok-kelompok islam moderat memiliki pandangan yang berbeda mengenai fundamentalisme agama, dan itu aklan sangat menpengaruhi tindakan mereka, apakah pro atau kontra dengan fundamentalisme agama yang ada di Indonesia.



Dari pemerintah Indonesia.
Konflik sosial antara negara Indonesia dengan fundamentalisme tidak bisa terelakkan dan sikap negara cenderung represif terhadap gerakan fundamentalisme ini. Setidaknya ada beberapa tesis yang menyebabkan negara Indonesia cenderung represif terhadap gerakan fundamentalisme agama yaitu: pertama dari segi internal, karena kepentingan negara yang berbau-bau sekuler dan liberal akan merasa direcoki oleh munculnya fundamentalisme yang menolak mentah-mentah kepentingan negara. Gerakan fundamentalisme menganggap negara harus mengakomodir sebesar mungkin kepentingan umat islam dengan penafsiran islam versi mereka. Negara Indonesia akan sangat dirugikan oleh adanya faham fundamentalisme agama yang berkembang di Indonesia. Pasalnya negara Indonesia adalah negara dengan ideologi pancasila yaqng didalamnya banyak berkembang berbagai agama, jika faham fundamentalisme agama ini tetap berkembang maka akan memicu terjadinya konflik antar agama. Karena tiap-tiap agama akan mempertahankan ajaran agama mereka untuk dijadikan sebagai rujukan dari terbentuknya sebuah negara. Kedua secara eksternal, yaitu karena negara kompromi dengan kekuatan-kekuatan kapitalisme dan liberalisme global yang mengharap negara-negara domestik dapat meredam aksi-aksi gerakan fundamentalisme yang dianggap merugikan dan membahayakan bagi kepentingan kekuatan kapitalisme-liberalisme. Dengan kondisi indonesia pada saat ini sebagai negara yang sedang berkembang maka sistem ekonomi yang paling tepat adalah dengan mengembangkan sistem ekonommi kapitalisme, karena sistem inilah yang paling cocok dan paling banyak digunakan oleh banyak negara yanga ada didunia pada saat ini. Dan para fundamentalis sangat anti dengan sistem ekonomi kapitalis-liberalis, mereka menginginkan sistem ekonomi syari’ah yang harus diterapkan di Indonesia.
Fenomena ini terlihat dari penahanan Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) Abu bakar Ba’asir. Demikian juga dengan represifnya negara terhadap gerakan Front Pembela Islam (FPI) yang disinyalir sebagai jaringan fundamentalis dan teroris di Asia tenggara. Sangat logis jika negara bertindak represif terhadap gerakan fundamentalisme karena fenomena munculnya fundamentalisme akan menumbuhkan potensi-potensi dogmatis-literalis, radikal dan ekstrim yang akan mencuat kepermukaan dan sekaligus akan mengusik ketenangan otoritas negara. Negara menganggap bahwa bagaimanapun negara ini berdiri atas kepentingan orang banyak. Oleh karena itu kepentingan “sebagian” yang menghalangi kepentingan “universal” apalagi dengan cara-cara yang radikal dan ekstrem maka harus berhadapan dengan negara itu sendiri.

Kesimpulan

Fundamentalisme dalam bentuk kekerasan bukanlah merupakan sebuah tawaran yang bijak untuk menyikapi polarisasi dunia akibat tamparan hebat westernisasi dan modernitas. islam memiliki banyak kerangka pemikiran untuk mewujudkan perdamaian di muka bumi. Hanya saja, eksplorasi atas makna-makna perdamaian dalam islam telah dicemari oleh beberapa perilaku kekerasan oleh gerakan fundamentalis. Tugas kaum agamawan adalah bagaimana menawarkan solusi atas kekecasan ini agar ada pernyataan bahwa kekerasan bukanlah ajaran islam.
Fakta beberapa oknum pelaku pengeboman atau terorisme yang dilakukan oleh kelompok agama (islam) memang bisa saja dibenarkan bahwa itu dilakukan oleh beberapa kelompok islam fundamentalis radikal. Tapi penampilan islam tidak pasti seperti itu. Apa yang dilakukan oleh gerakan islam radikal sangat mungkin mengandung kompleksitas kondisional. Artinya, dengan tameng agama, apa yang mereka lakukan juga merupakan penyertaan pada. sisi politis, ideologis, dan kepentingan non-agama yang melingkupi aksi mereka. Jadi, itu belum dapat dikatakan an sich karena sisi penafsiran yang merupakan hasil pemaknaan agama yang saja.
Fenomena fundamentalisme diakibatkan arus globalisasi yang tidak terbendung yang tidak terfiltrasi oleh masyarakat sehingga menyebabkan lahirnya  perilaku masyarakat yang inmoral dan menyimpang dari norma-norma agama. Masuknya kebudayaan luar ke suatu daerah yang cenderung merusak tatanan hidup masyarakat yang telah terikat dengan nilai-nilai luhur religiutas. Hal ini menyebabkan kekhawatiran akan  tercabutnya akar-akar tatanan sosial masyarakat madani. Kaum fundamentalis muncul sebagai penyaring dan pembendung dari hancurnya norma-norma agama.
Semua hal di atas menunjukkan dilema fundamentalisme dalam berinteraksi dengan fakta dan sejarah, mustahil kembali ke asal sebagaimana semula. Mengulang ke model peradaban, masyarakat, atau kebudayaan masa lalu akan mengingatkan kita kepada anekdot terkenal "kamu tidak akan turun dalam satu sungai dua kali", dan inilah kondisi yang sebenarnya, karena sungai itu berubah dan kita juga berubah, bahkan sampai pemikiran perbaikan ataupun pembaharuan akan menemui kesulitan untuk mencapai kesepakatan. Kenapa kita harus memperbaiki sesuatu yang tidak mampu lagi untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan baru? Apa salahnya kalau kita gunakan hal-hal baru untuk sesuatu yang baru juga? Klaim pembaharuan dan kembali ke asal (identitas), hanya sekadar pembenaran pribadi, dan merupakan perbuatan yang tidak didasari logika.
Meski tidak sempurna, makalah sederhana ini telah berusaha untuk menjawab  beberapa pertanyaan mendasar. Di antaranya kami telah menjawab pertanyaan seputar maksud dari istilah muslim fundamentalis. Dengan mendekati fenomena tersebut dari sisi istilah bahasa, sebagaimana metode semantik mendekati suatu fenomena. Lalu mengurai basical meaning dan relational meaning dari istilah muslim fundamentalis. Kami juga telah menjawab pertanyaan sekitar pemikiran dan tindakan muslim fundamentalis. Dengan menganalisa pikiran inti muslim fundamentalis berikut landasan berpikir dan implikasi epistemologis dan praktisnya, secara kritis. Lalu memberi  kesimpulan bahwa pikiran dan tindakan radikal muslim fundamentalis itu berakar pada ideologi yang mereka yakini. Pada dasarnya fundamentalisme adalah pembahasan tentang keamanan, ketenangan, dan kepuasan jiwa. Karena hal tersebut merupakan piranti-piranti yang murah dan tidak membutuhkan banyak tuntutan, tanpa petualangan dan benturan serta langsung menukik ke dunia nyata.
Sekarang ini yang menjadi tugas besar dari umat islam di seluruh dunia dalam menyongsong abad millenium ketiga tampaknya tidak lagi harus membeda-bedakan antara neo-modernis, neo-fundamentalis, dan neo-tradisionalis adalah menyajikan pola kehidupan yang modern mengenai detail-detail kebijaksanaan dari agama islam yang merupakan agama yang Rahmatall lil alamien (pembawa rahmat bnagi semua orang). Tugas ini berarti umat islam harus bias menerjemahkan kebenaran-kebenaran yang terkandung didalam ajaran agama islam, melalui bahasa-bahasa yang kontemporer dan tidak member pemahaman dengan kontekstual dan literal. Tantangan yang paling nyata yang dihadapi oleh agama islam dan juga agama-agama lain adalah munculnya konteks pemikiran yang muncul dalam sains, teori evolusi, psikoanalisis, eksistensialisme, historismedan yang paling membahayakan adalah berkembangnya paham dialektika materialism.
           









Daftar pustaka.
Al-bana, Gamal. 2006. Jihad. Jakarta: Mata Air Publishing.

Bakar, Abu Ebi Hara, Islam Radikalisme dan Demokrasi, Jurnal Demokrasi dan HAM, www.habibiecenter.or.id (akses 4 nov 2010 11:30)
Bukay, David. 2010. Mendudukkan akal pada tempatnya. http://rumaysho.com/belajar-islam/aqidah/2865-mendudukkan-akal-pada- tempatnya.html (akses 01 Oktober 2010 (13.00 w.i.b)
Jainuri, Achmad, dkk. 2003. Terorisme & Fundamentalisme Agama, Sebuah Tafsir Sosial. Malang : Bayumedia Publishing.
Mahfud MD, Moh. (et. al.). 2010. Fundamentalisme Agama dalam Konflik Israel-Palestina. Kompas.com . https://www.kompas.com/kompas-cetak/0306/14/opini/367614.htm (12 november 2010 13:37)

Maulani, Z.A,dkk. 2005. Islam & terorisme dari minyak hingga hegemoni Amerika. Yogyakarta : UCY PRESS.

Rachman, budi munawar. 2004. Islam Pluralis Wacana Kesetaraan Kaum Beriman. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada.

Rahman, fazlur. 2010. Fundamentalisme agama. Jakarta. Wikipedia. akses di http://en.wikipedia.org/fundamentalisme pada tanggal 01 Oktober 2010(13:20)

Syofyan, Donny SS. 2010. Keabsahan Fundamentalisme Keagamaan http:\menekan-laju-fundamentalisme-agama.html . (2 Maret 2010 19:23:09)
Ulum , Muhammad Bahrul. 2010. Pancasila: Menekan Laju Fundamentalisme Agama. Filsafat, Hukum, Konstitusi, Sosial & Politik. http://islamlib.com/ididpaRe.php (akses 04 November 2010 12:41)

Komentar

Postingan Populer