Oligarki dalam Pusaran Politik Indonesia

Richard Robison dan Vedi R Hadiz (2004) menyatakan bahwa proses demokratisasi  Indonesia pasca-1998 ditumpangi oleh kekuatan oligarki. Jeffrey Winters mendefinisikan oligarki sebagai politik "Wealth Defense", yakni konglomerat yang berpolitik untuk mempertahankan kekayaannya (Winters, 2011). Oligarki politik yang menguat di Indonesia setidaknya bersumber pada dua hal. Pertama, ketimpangan ekonomi dengan 0,0000000002 % masyarakat menguasai 10 persen pendapatan domestik bruto (PDB) Indonesia. Kedua, adanya warisan Orde Baru dalam sistem ekonomi politik di Indonesia. Aktor politik, bisnis, dan birokrasi berkoalisi untuk menghasilkan kebijakan yang jauh dari kepentingan rakyat. Sehingga siapapun yang menang, dalam keseharian kehidupan kita tidak akan merasakan perbedaan yang signifikan karena mereka yang take over.
Para oligarki yang dulunya mendapatkan kekayaan dari hubungan patron-klien dengan Rezim era Soeharto, kini harus berpolitik secara langsung untuk mempertahankan kekayaannya. Para oligarki ini diuntungkan oleh skema demokrasi liberal yang membutuhkan biaya besar. Oleh karena itulah, selepas 1998, terdapat tren konglomerat yang membuat atau mengetuai partai politik (Surya Paloh, Aburizal Bakrie, Prabowo). Atau, jika pun tidak, setiap partai memiliki konglomerat yang menjadi pendukungnya.
Menjelang Pemilu 2019 pada 17 April lalu Watchdoc dan Jatam.org membuat sebuah karya vidio yang menggemparkan dunia nyata dan maya. Mereka mempublikasikan karya terbaiknya dalam mengungkap siapa yang paling berkuasa atas tambang di Indonesia. Di kubu Jokowi & Ma'ruf Amin, terdapat nama yang terkait langsung dengan bisnis pertambangan dan energi. Mereka adalah Luhut Binsar Panjaitan, Fachrul Razi, dan Suaidi Marasabessy yang tergabung dalam Tim Bravo 5, serta Hary Tanoesoedibjo, Surya Paloh, Sakti Wahyu Trenggono, Jusuf Kalla, Jusuf Hamka, Andi Syamsuddin Arsyad, Oesman Sapta Oedang, dan Aburizal Bakrie.
Sementara di kubu Prabowo Sandi, lebih gamblang lagi. Prabowo Subianto dan Sandiaga Uno sendiri merupakan pemain lama dalam sektor tambang dan energi. Selain itu, terdapat Hutomo Mandala Putra atau Tommy Soeharto, Maher Al Gadrie, Hashim Djojohadikusumo, Sudirman Said, dan Zulkifli Hasan. Masing-masing mereka memiliki bisnis tambang langsung, memiliki sejumlah saham, dan memiliki peran atau kewenangan saat menjabat sebelumnya dalam memuluskan ekspansi pertambangan melalui kebijakan yang mereka kendalikan.
Jadi, pada Pemilu 2019 yang seharusnya menjadi pesta rakyat untuk mengadili penguasa, menjadi pesta para oligarkhi berebut kuasa. Berbagai kepentingan para oligarki bertarung dalam urusan bisnisnya. Sehingga rakyat pun diprediksi tidak akan menang terutama daerah-daerah yang terkena kepentingan tambang. Dari paparan ini pun kita semakin menyadari bahwa kita adalah para korban yang menjadi mainan para penguasa. Bagaimana respon kita setelah mengetahui bahwa pemilu kali ini justru ajang tarung oligarki ?
Drone Emprit memantau pemberitaan khusus terkait bagaimana isu oligarki berkembang di media online. Bagaimana pola pemberitaan di media online seputar oligarki dan pemilu serentak 2019 di Indonesia.
Volume dan Tren

Untuk menarik data, Drone Emprit menggunakan kata kunci: Oligarki. Hasilnya, diperoleh kata terkait oligarki sebanyak 299 yang tersebar di sejumlah media online sejauh tertangkap oleh DE.


Setidaknya sejak 22 April lalu muncul perdebatan mengenai siapakah pemenang dalam pemilu 2019. Kelompok oligarki manakah yang akan menguasai sumber daya alam di Indonesia, karena melihat kenyataan bahwa kedua pasangan calon saling mengklaim bahwa mereka adalah pemenang dalam kontestasi tersebut.
Banyak media online yang memberitakan dengan nada negative dan netral terkait dengan pusaran oligarki di Indonesia dalam pemilu 2019.



Oligarki di tubuh partai politik menjadi ganjalan terhadap perubahan

Gambaran tentang buruknya oligarki tidak bermaksud menampilkan sisi suram wajah perpolitikan kita saja. Image suram tersebut pun tidak berarti mencerminkan realitas perpolitikan Indonesia seluruhnya. Oligarki hanyalah “penyakit” dalam tubuh demokrasi. Ini berarti langkah solutif yang dipilih berimplikasi ganda. Langkah menguatkan demokrasi berarti melemahkan oligarki, sebaliknya menyerang oligarki berarti menyehatkan demokrasi.
Alasan lain mengapa oligarki bertumbuh subur adalah keawaman dan apatisme masyarakat. Jika masyarakat memiliki kesadaran bahwa partai politik merupakan “wadah” mereka, memilih pemimpin adalah “problem” mereka, uang negara yang kerap “diobok-obok” adalah milik mereka, civil society menjadi kuat.
Masalahnya sekarang adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran itu? Mulailah berpartisipasi dalam kehidupan politik semisal mengikuti pemilu, turut ambil bagian dalam dinamika perpolitikan melalui sajian surat kabar, media sosial, atau televisi, dan berdeliberasi dalam berbagai forum publik.

Ahmad Sholikin

Komentar