Money Politics Patronage, Political Networks, and Electoral Dinamics in Southeast Asia
Resume
Kuliah Umum : “Money Politics Patronage, Political Networks, and Electoral
Dinamics in Southeast Asia Edward Aspinall, ANU
Uang dalam politik atau yang sering dikenal dengan istilah
populernya money is politics adalah sebuah keniscayaan yang akan selalu
terkait dengan dunia politik. Hal ini seperti dua mata sisi uang yang tidak
dapat di pisahkan, karena tanpa uang politik tidak bergerak, tumbuh, dan
berkembang seperti juga dengan ekonomi dan pembangunan. Tetapi jika kita
analisa lebih dalam maka praktik politik uang (money politics) adalah
tindakan dan cara yang tidak demokratis. Menggunakan uang untuk melakukan
intervensi dalam proses politik dan kebijakan publik dapat menyebabkan pengaruh
yang tidak wajar sehingga melanggar prinsip-prinsip demokrasi.
Sadar
akan bahayanya praktik politik uang tersebut maka Prof. Edward Aspinall
melakukan penelitian tentang berbagai
praktik politik uang yang terjadi di berbagai negara di Asia Tenggara. Penelitian
tentang politik uang yang dilakukan oleh Prof. Edward Aspinall memiliki fokus
pada Pemilu Nasional yang di lakukan di berbagai negara, Indonesia, Thailand,
Malaysia dan Philipina. Fenomena terjadinya politik uang sebelum terjadinya
pemilu merupakan fenomena yang terjadi di ke empat negara tersebut. Di
Indonesia sering kita kenal dengan “Serangan Fajar”, di Thailand dengan “Malam
Anjing Menggonggong” serta di Papua Nugini dengan sebutan “Malam Setan”.
Berbagai
praktek politik uang yang terjadi di negara-negara tersebut pasti ada yang
namanya patron dan klien, patron adalah berupa uang atau benda, selain itu juga
berupa peluang-peluang untuk menghasilkan uang atau benda tersebut. Sedangkan
klien adalah berupa hubungan personal antara seorang wakil rakyat kepada
konstituennya, klien juga sebuah jaringan yang akan menjadi pendistribusi dari
patron. Praktik patron biasanya dilakuakan oleh seorang calon dengan memberikan
sesuatu atau uang langsung kepada para pemilihnya, tetapi selain praktik itu
ada juga yang melakuakan dengan cara memberikan imbalan kepada oranng-orang
yang memiliki pengaruh besar di daerah konstituennya seperti seorang Kyai,
Ustadz, pemuka agama, kepala suku, kepala ormas dll. Selain memberikan imbalan
langsung berupa uang biasanya seorang calon menjelang pemilu juga akan datang
kepada konstituennya untuk melakuakan pembangunan infrastruktur desa. Patron
juga berupa iming-iming kepada para kontraktor tentang berbagai proyek yang
akan di goal kan ketika seorang calon tersebut menjadi anggota DPR, dengan
catatan seorang kontraktor tersebut memberikan modal kampanye kepada calon
tersebut.
Penelitian
Prof Aspinall yang dilakukan di berbagai negara Asia Tenggara ini adalah ingin
melihat tentang apa yang menjadi dasar utama terjadinya praktik-praktik patron
tersebut, kemudian ingin melihat bagaimana bentuk klien atau jaringan yang
telah dibangun atau dibentuk oleh seorang calon. Selain itu juga ingin melihat
tentang apa yang meyebabkan suara rakyat itu dapat di beli dengan praktik
politik uang tersebut, dan apa akibat yang dihasilkan dari praktik politik uang
tersebut baik bagi pemilih, bagi calon, bagi sistem pemerintahan dan bagi
keberlangsungan sistem pemerintahan demokrasi.
Hasil
sementara dari penelitian yang dilakukan olehProf Aspinall adalah menyatakan
bahwa praktik-praktik uang yang berupa jaringan antara patron dan klien sudah
ada sejak dahulu, seperti dalam literature yang di tulis oleh Carl Lande 1965
(patron klien yang terjadi di Philipina) dan James Scott 1972 (jaringan patron
klien di Asia Tenggara). Di Thailand juga terjadi pola jaringan yang melibatkan
LSM dan para broker, sedangkan di Malaysia adalah hubungan antara partai
politik dan para pembuat kebijakan. Dalam konteks Indonesia Prof Aspinall
menemukan pola jaringan yang sangat populer saat menjelang pemilu yaitu jaringan
“Tim Sukses”. Tim sukses adalah sebuah struktur yang fungsi utamanya adalah
sebagai penghubung antara para politisi dengan berbagai komunitas yang ada di
masyarakat. Pola hubungan dalam tim sukses adalah pola hubungan pesonal dengan
mengandalkan trust (kepercayaan) dari seseorang yang memiliki tugas satu dengan
tugas yang lainnya.
Open recruitment
untuk membentuk tim sukses dilakukan oleh seorang calon atau partai politik
dengan berbagai pertimbangan-pertimbangan, pertama; karena orang tersebut memiliki
skill (yang di maksud adalah orang
tersebut memiliki link yang kuat
untuk menghubungkan calon ke berbagai media cetak, dan juga elektronik, dan
juga berbagai link-link lain yang
dapat menguntungkan calon dalam melakukan kampanye). Kedua; orang yang mempunyai
dana atau modal yang dapat memberikan ongkos politik yang dapat menggerakkan
kinerja dari tim sukses seorang calon menuju sebuah pemilu (biasanya para
kontraktor akan dengan senang hati memberikan ongkos politik tersebut dengan
daling akan mendapar proyek-proyek besar ketika calon yang dia biayai menjadi
seorang pejabat pemerintahan). Ketiga; orang yang memiliki pengaruh dan
memiliki massa di dalam masyarakat, biasanya adalah para pemuka agama (kyai,
pastur, uskup, biksu dan pendeta), selain itu juga kepala suku, ketua LSM,
ORMAS dll. Fungsi dari tim sukses ini adalah sebagai alat dari partai politik
atau calon untuk mengetahui preferensi dari para pendukung atau para
pemilihnya. Ini bertujuan untuk mengetahui peta politik pendukungnya sehingga
seorang calon atau parpol bisa menentukan strategi atau langkah yang akan di
ambil untuk wilayah-wilayah yang sedikit yang mendukungnya. Selain itu fungsi
tim sukses juga sebagai alat atau jaringan yang akan menjembatani para calon
kepada para pemilihnya, karena tidak mungkin seorang calon bisa bertatap muka
langsung dengan semua pemilihnya satu persatu.
Selain
berbagai keuntungan dari adanya tim sukses tersebut, juga ada kekurangan atau
kelemahannya. Karena pada dasarnya tim sukses tersebut adalah tim yang
profesional maka tidak ada jaminan akan loyalitas dari masing-masing anggota
tim sukses. Setiap anggota tim sukses memiliki motivasi yang berbeda-beda
ketika ia memutuskan untuk menjadi anggota tim sukses tersebut. Di antaranya
adalah karena komitmen politik (activist programe), biasanya tim sukses yang
memiliki komitmen politik ini akan sangat loyal kepada seorang calon. Orang
yang miliki komitmen politik adalah orang yang memiliki kedekatan ideologi
dengan calon atau parpol dan juga karena orang tersebut tertarik dengan
berbagai program yang di tawarkan calon, sehingga dengan sukarela orang
tersebut mau menjadi tim sukses dari calon tersebut. Ada juga seorang tim
sukses yang memiliki motivasi untuk mendapatkan proyek-proyek ketika calon yang
didukungnya menjadi pejabat politik, biasanya di dominasi oleh para kontraktor.
Para kontraktor akan dengan sukarela memberikan ongkos politik kepada calon
yang di pandangnya memiliki peluang menang dalam pemilu, orientasi para tim
sukses ini adalah jangka panjang. Selain itu ada juga tim sukses yang memiliki
orientasi jangka pendek yaitu hanya ingin mendapatkan uang ketika dia menjadi
tim sukses. Dengan berbagai motivasi ini maka rawan sekali terjadinya
pengkhianatan oleh tim sukses kepada para calon dan partai politik yang dia
dukung. Utamanya orang yang memiliki motivasi untuk memperoleh keuntungan
harta, maka calon mana yang menjanjikan lebih banyak maka dia akan dengan
senang hati untuk pindah dan mendukung kepada calon yang memberikan keuntungan
lebih banyak. Sehingga sering terjadi para tim sukses ini main di dua kaki,
mana yang untungnya besar maka itulah yang dia ikuti.
Sadar
bahwa berbagai praktik politik uang tersebut akan mengancam sistem politik
demokrasi yang ada di Indonesia maka DR. Mada Sukmajati menawarkan sebuah alat
yang digunakan untuk meningkatkan perilaku pemilih yang rasional. Dalam
pandangan DR. Sukmajati perilaku para pemilih rasional adalah orang yang
memilih berdasarkan siapa yang memberi banyak dan segera maka dialah yang akan
di pilih. Terjadi pergeseran makna pada pemilih rasional, rasional sekarang ini
adalah pragmatis, individual, transaksional dan orientasi jangka panjang. Para
pemilih rasional ini di tandai dengan menurunnya para pemilih partisipan, dan
menurunnya jumlah pemilih yang ideologi.
Sistem
politik demokrasi menghendaki adanya sistem yang check and balance antara pemegang kekuasaan dan rakyat. Sehingga
pemilu meruapakan alat dari sistem demokrasi untuk membuat para pejabat politik
tidak cenderung memainkan kekuasaan tanpa tanggung jawab kepada konstituennya.
Logika dalam pemilu adalah, melalui pemilu para pejabat publik mendapatkan
legitimasi dari rakyat yang telah memilihnya, sedangkan rakyat mendapatkan akuntabilitas
dari program-program yang dijanjikan dalam kampanye yang dilakukan oleh pejabat
publik tersebut. Dengan adanya praktik politik uang maka logika pemilu yang
menjadi ciri utama sistem demokrasi tersebut ternodai. Implikasi politik dari
adanya praktik politik uang adalah para pejabat politik mendapatkan legitimasi
dari para pemilihnya, sedangkan para pejabat politik tidak harus bertanggung
jawab kepada konstituennya karena logikanya suara rakyat sudah dibeli oleh para
pejabat politik. Sehingga banyak kebijakan publik yang di keluarkan oleh para
politisi tidak berpihak kepada kepentingan konstituennya dan cenderung
menguntungkan para kontraktor yang telah mendukungnya ketika awal kampanye.
Pola
hubungan yang tidak seimbang antara pejabat politik dan konstituennya akibat
adanya politik uang akan menciderai demokrasi di Indonesia. Dengan persoalan
seperti itu maka DR. Mada berasumsi bahwa yang harus di cerdaskan adalah para
pemilih sehingga para pemilih tidak terbujuk dengan praktik politik uang yang
dilakukan oleh para pejabat politik. Sehingga para pemilih harus memiliki alat
yang bisa membantunya untuk memberikan hak pilihnya melalui pemilu dan
menentukan keputusannya pada hari pemungutan suara. Para pemilih harus memiliki
rasiometer yang meliputi, pengumpulan informasi, mengolah informasi dan
menentukan keputusan. Pengumpulan informasi di sini adalah pemilih mengumpulkan
informasi tentang segala sesuatu yang berkaitan dengan ideologi dan juga
program-program partai politik dan di cocokkan yang sesuai dengan kepentingan
dari pemilih. Tahap selanjutnya yaitu pengolahan informasi, para pemilih
melakuakn konfirmasi melalui media dan forum forum diskusi tentang apa yang
menjadi fokus dan konsentrasi dari partai politik tersebut. Setelah tahap
pengumpulan informasi dan pengolahan informasi tersebut maka pemilih harus
menentukan calon mana yang akan di pilih pada saat pemungutan suara. Sehingga
dengan mencerdaskan para pemilih maka di harapkan masyarakat akan terhindar
dari praktik politik uang yang kian marak di lakukan oleh para politisi.
Selain
rasiometer yang ditawarkan oleh DR. Mada, Prof Aspinall juga menambahkan
berbagai solusi agar praktik politik uang dalam pemilu bisa di kurangi. Pertama
yaitu dengan melakukan pendidikan politik kepada masyarakat. Partai politik
yang memiliki fungsi sebagai pendidik politik bagi warga harus berjalan dan
dilaksanakan dengan baik. Partai politik tidak hanya berfungsi untuk
memperebutkan kekuasaan dan suara dari rakyat tetapi juga harus menjalankan
fungsi-fungsi lainnya. Kedua; dengan memberikan aturan hukum dan sangsi yang
jelas bagi para pelaku politik uang, walaupun sudah ada peraturan dan
undang-undang pemilu tetapi pada pelaksanaanya kurang tegas. Dari sisi para
pemilih harus ada penigkatan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat sehingga
mereka tidak tergiur denagn iming-iming yang dijanjikan oleh para wakil rakyat.
Yang terakhir yaitu harus ada reformasi institusional agar semua lembaga dan
semua undang-undang yang telah ada bisa berjalan dengan efektif dan efisien.
Komentar