PEMIKIRAN POLITIK NEGARA DAN AGAMA “AHMAD SYAFII MAARIF”
Abstrak
Jurnal ini membahas tentang pemikiran politik Negara dan Agama
Ahmad Syafii Maarif, serta latar belakang pemikiran tersebut. Penulis
menggunakan metode penelitian kualitatif, dengan data pustaka sebagai sumber
utama penelitian ini. Penulis menggunakan teori politik Islam Al-Maududi untuk
menganalisa pemikiran politik Buya Syafii, dan sosiologi pengetahuan Karl
Manheim untuk menganalisa latar belakang pemikiran tersebut. Hasil penelitian
ini adalah, pertama, Ahmad
Syafii Maarif adalah seorang Intelektual Muslim yang menggunakan semangat moral
Islam sebagai dasar berpijak dari seluruh pemikiran politiknya. Pola hubungan
antara negara dan agama tergambar dalam pola yang saling memerlukan, Negara
memerlukan agama sebagai sumber prinsip moral-transendental bagi tegaknya
keadilan dan prinsip persamaan dalam sebuah negara, sedangkan Agama butuh
negara sebagai institusi pelindung bagi terlaksananya ajaran moral agama dapat
terimplementasi dalam kehidupan sehari-hari. Kedua, Ahmad Syafii Maarif dalam hal pemikiran negara dan agama
mengalami transformasi pemikiran yang sangat kontras, dari syariat oriented pemikiran Moh. Natsir sebelum
menjadi seorang sosial-demokrat yang menjadi orientasi dari Muhammad Hatta.
Titik kontras pemikirannya adalah sebelum Chicago dan pasca Chicago.
Kata
Kunci : Pemikiran Politik Islam, Relasi Negara dan Agama, Ahmad Syafii Maarif
Abstraction
The journal discusses
the political thought of the State and Religion Syafii Maarif and conceptual
background. The author used qualitative research methods, with data library as
the main source of this study. The author uses the theory of political Islam Al-Mawdudi
to analyze political thought Buya Syafii, Karl Manheim and the sociology of
knowledge to analyze the conceptual background. The results of this study are,
firstly, Ahmad Syafii Maarif is a Muslim intellectual who use Islam as a basic moral
spirit rests from all his political thinking. The pattern of the relationship between
state and religion is reflected in the pattern of mutual need, the State need religion
as a source of transcendent moral principles for the establishment of justice
and the principle of equality in a country, while the state takes religion as a
protective institution for the implementation of the moral teachings of
religion can be implemented in everyday life days. Second, Ahmad Syafii Maarif in
terms of state and religious thinking thoughts transformation of stark
contrasts, from Shari'a Moh oriented thinking. Natsir before becoming a social-democrat,
the orientation of Mohammad Hatta. The point of contrast is thinking before Chicago
and post-Chicago.
Keywords : Islamic
Political Thought, Ahmad Syafii Maarif, Relation of State and Religion.
- Pendahuluan
Agama dan politik merupakan dua aspek
fundamental dalam kehidupan manusia, dan persoalan hubungan antara keduanya
juga telah menjadi bahan pamikiran para ilmuwan, filsuf maupun teolog sepanjang
sejarah. Salah satu karakteristik Islam sebagai agama pada awal-awal
perkembangannya adalah kejayaan di bidang politik. Islam tidak hanya
menampilkan dirinya sebagai perhimpunan kaum beriman yang mempercayai kebenaran
yang satu dan yang sama, melainkan juga sebagai masyarakat yang total.[1]
Atas
dasar adanya pertimbangan nilai-nilai keagamaan akan memberi harapan tumbuhnya
kegiatan politik bermoral tinggi atau berakhlak mulia. Inilah makna bahwa
politik tidak dapat dipisahkan dari agama, tetapi dalam hal susunan formal atau
strukturnya serta segi-segi praktis dan teknisnya, politik adalah wewenang
manusia, melalui pemikiran rasionalnya (yang dapat dipandang sebagai suatu
jenis ijtihad). Dalam hal inilah politik dapat dibedakan dari agama. Maka dalam
segi struktural dan prosedural politik itu, dunia Islam sepanjang sejarahnya,
mengenal berbagai variasi dari masa ke masa dan dari kawasan ke kawasan, tanpa
satu pun dari variasi itu dipandang secara doktrinal paling absah (kecuali masa
kekhalifahan Rasyidah).[2]
Agama
telah menjadi kebutuhan dasar manusia yang tidak dapat dipisahkan dari
kehidupan sosial manusia, selain itu agama juga diyakini tidak hanya berbicara
soal ritual semata melainkan juga berbicara tentang nilai-nilai yang harus
dikonkretkan dalam kehidupan sosial dan dalam ranah ketatanegaraan, sehingga
muncul tuntutan agar nilai-nilai agama diterapkan dalam kehidupan bernegara.[3]
Gagasan tentang relasi Islam dan Negara selalu menjadi wacana aktual di
Indonesia meskipun telah diperdebatkan beberapa tahun yang lalu, dan mengalami fluctuative discourse dalam
percaturan politik di Indonesia, akan tetapi wacana ini selalu survive
pada momen-momen tertentu. Ketegangan dan perdebatan ini muncul menjelang
pemilu karena momen ini merupakan kesempatan besar bagi semua golongan yang
ingin memperjuangkan aspirasi politiknya, baik itu yang berideologikan
nasionalis, maupun Islam.
Sejak
Pancasila dijadikan dasar ideologi formal Republik Indonesia pada tahun 1945
oleh Soekarno, Pancasila menjadi bagian perdebatan politik yang tidak terelakan
oleh politikus dan agamawan, khususnya Islam.[4]
Keinginan sebagian kalangan untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara
bukanlah fenomena yang baru, ini telah mencuat sejak Indonesia masih berumur
belasan bulan, tepatnya ketika penentuan dasar negara. Wacana negara Islam dan
formalisasi Syariat Islam di Indonesia kian merebak pasca tumbangnya rezim
otoriter Orde Baru. Salah satu indikatornya dapat dilihat dari tumbuh suburnya
kelompok-kelompok Islam radikal yang demikian getol mengusung formalisasi
Syariat Islam. Politik praktis menjadi jalan formal untuk mengusung Syariat
Islam sebagai ideologinya, tercatat ada beberapa partai Islam semisal Partai
Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Bulan Bintang (PBB) dan Partai Persatuan
Pembangunan (PPP).
Sejalan
dengan waktu dan disertai oleh tersebarnya agama Islam ke seluruh penjuru
dunia, telah terjadi kontak sosial dan budaya dan akan mempengaruhi kepada
ajaran agama Islam itu sendiri. Budaya masyarakat dari waktu ke waktu akan
mengalami perubahan, sesuai dengan tuntutan zaman. Sedangkan sebuah ajaran,
paham yang berasal dan diciptakan oleh sekelompok masyarakat atau perorangan
akan hidup dan tumbuh pada waktu yang bersamaan selagi tokoh atau orang yang menciptakan
ajaran itu masih hidup, dan hanya sesuai pada waktu zaman itu juga. Dalam pandangan Buya Syafii Maarif, ketika
Islam diaplikasikan dalam konteks keindonesiaan maka akan memunculkan sebuah
Islam yang ramah, terbuka, inklusif dan mampu memberi solusi terhadap
masalah-masalah besar bangsa Indonesia.[5]
Menurut Ahmad Syafii Maarif, secara
doktrinal Islam tidak menetapkan dan menegaskan pola apapun tentang teori
negara Islam yang wajib digunakan oleh kaum Muslim. H.A.R. Gibb seperti dikutip
Buya Ahmad Syafii Maarif, memaparkan bahwa baik Al-Qur’ân maupun Sunnah tidak
memberikan petunjuk yang tegas tentang bentuk pemerintahan dan lembaga-lembaga
politik lainnya sebagai cara bagi umat untuk mempertahankan persatuannya.[6]
Argumentasi Buya Syafii Maarif ini berangkat dari asumsi bahwa Islam bukanlah
sekedar cita-cita moral dan nasihat-nasihat agama yang lepas begitu saja. Islam
membutuhkan sarana sejarah untuk mewujudkan cita-cita moralnya yang mencakup
seluruh aspek kehidupan. Sarana yang dimaksud Buya Ahmad Syafii Maarif tidak
lain adalah negara, sehingga Syafii Maarif menolak pandangan yang menghendaki
pemisahan Islam dan negara.
Ahmad Syafii Maarif, sebagai salah satu
intelektual Muslim terkemuka dan berpengaruh di Indonesia,
pandangan-pandangannya tentang relasi agama (Islam) dan negara, serta agama dan
kekuasaan menemukan momentumnya di saat bangsa ini banyak dibelit berbagai
problematika, terutama terkait masalah ideologi negara. Oleh karena itu,
penulis memandang penting untuk mengetengahkan dan mengkaji pemikiran Ahmad
Syafii Maarif yang moderat, inklusif, dan substansialistik.
Penelitian
ini meneliti tentang bagaimana relasi agama dan negara dalam pemikiran
Ahmad Syafi’i Ma’arif, serta apa
yang melatarbelakangi munculnya pemikiran politik negara dan agama Ahmad
Syafi’i Ma’arif tersebut.
Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan dan menganalisa
pandangan politik Ahmad Syafi’i Ma’arif dalam menjelaskan relasi antara agama
dan kekuasaan. Selain itu mengkaji
tentang kekuatan dan
kelemahan pandangan Ahmad Syafi’i Ma’arif dalam merumuskan hubungan negara dan
agama serta agama dan kekuasaan. Manfaat
Penelitian ini adalah untuk memperkaya khazanah
intelektual muslim dalam perdebatan negara dan agama serta agama dan kekuasaan. Menemukan konsep yang sistematis dalam
menginterpretasikan agama dan negara serta agama dan kekuasaan sehingga
tercipta pola hubungan yang seimbang dan harmonis. Memberikan nuansa berfikir yang lebih kondusif dan realistis.
- Kajian Teoritik
Teori
politik Islam (fiqh siyasah). Menurut
Abul A’la Al Maududi, secara garis besar teori Politik Islam meliputi, pertama:
azas pertama dalam teori politik Islam adalah kepercayaan terhadap keesaan
(tauhid) dan kedaulatan Allah adalah landasan dari sistem sosial dan moral yang
dibawa oleh para Rasul (Allah). Kepercayaan itulah yang merupakan satu-satunya
titik awal dari filsafat politik dalam Islam. Ajaran pokok islam menyatakan
bahwa manusia, secara individual maupun kolektif, harus memberikan semua haknya
untuk memimpin, menetapkan aturan dan melaksanakan tanggung jawab
kepemimpinannya kepada sesamanya.[7]
Berdasarkan teori ini kedaulatan adalah milik Allah, Dia sendirilah yang
menetapkan hukum. Tidak seorangpun, bahkan nabi pun, tidak berhak memerintah
atau menyuruh orang lain untuk melakukan atau tidak melakukan segala sesuatu
atas dasar hak (atau kemauan) nya sendiri. [8]
Kedua:
Negara Islam, hakikat dan ciri-cirinya. Islam sangat menentang filsafat
kedaulatan rakyat dan berpandangan politik atas dasar kedaulatan Allah dan
kekhilafahan manusia. Nama yang lebih tepat untuk diberikan kepada pandangan
politik kenegaraan Islam adalah konsep “kerajaan Allah” yang dalam bahasa
Inggris dikenal dengan istilah ”theo-cracy”. Teokrasi yang dibangun berdasarkan
Islam, ia tidak ditempatkan dibawah kekuasaan kelas agama tertentu melainkan
ditangan seluruh masyarakat muslim. Kaum muslimin secara keseluruhan
menjalankan roda pemerintahan itu sesuai dengan petunjuk-petunjuk kitab suci
(Al-Qur’an) dan aturan-aturan pelaksanaan yang dijalankan oleh Rasul-Nya.[9]
Ketiga:
tujuan negara Islam dapat dirumuskan atas dasar Al-Qur’an dan Sunnah sebenarnya
telah diletakkan dasar-dasarnya oleh Allah. Al-Qur’an menyatakan :
“Sesungguhnya
Kami telah mengatur Rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata. Dan
telah Kami turunkan bersama mereka kitab suci dan neraca agar manusia dapat
menciptakan keadailan. Dan Kami telah menciptakan besi yang mempunyai kekuatan
hebat, dan manfaat yang banyak bagi manusia.....”[10]
Dalam ayat ini
besi melambangkan kekuatan politik, dan ayat ini juga menjelaskan bahwa tugas
para nabi adalah menciptakan suasana kehidupan, dimana rakyat memperoleh
jaminan atas keadilan sosial yang sejalah dengan tolak ukur ilahi yang
dijelaskan Allah dalam kitab sucinya, yang antara lain berisi aturan-aturan
untuk membentuk suatu kehidupan yang berdisiplin baik.[11]
Tujuan negara Islam adalah melenyapkan segala bentuk kejahatan dan
mengembangkan kebaikan dan keutamaan sebagaimana dengan jelas telah dikemukakan
oleh Allah didalam Kitab Al-Qur’an itu. Untuk mencapai tujuan inilah kekuasaan
politik itu dipergunakan dan, dimana perlu, segala macam alat propaganda dan
himbauan tanpa kekerasan dimanfaatkan juga. Demikian juga pendidikan moral
dikalangan rakyat ditingkatkan, pengaruh sosial dan kekuatan pendapat khalayak
(public opinion) juga diarahkan kepada tercapainya tujuan tersebut.[12]
Penelitian
ini meneliti tentang bagaimana latar belakang dan lahirnya pemikiran Buya
Syafii dalam hal negara dan agama. Sebagaimana di kemukakan oleh Karl Manheim,
perubahan dinamika pemikiran dalam sosiologi pengetahuan sangat berkaitan
dengan eksistensi gagasan dalam suatu struktur sejarah. Sosiologi pengetahuan
menitikberatkan sebuah analisa pada eksistensi gagasan kepada studi historis
kongkret yang dimaknai, sejarah merupakan konteks dari lahirnya sebuah
pemikiran.
“Rather,
the sociology of knowledge seeks to comprehend thought in the cocrete setting
of an historicalsituation out of which individually differentiated thought only
very gradually emerges.[13]
Asumsi dasar
dari sosiologi pengetahuan adalah sebuah gagasan tidak hanya lahir dari
dialektika internal atau psikologis, tetapi juga subjek tidak lepas dari
selimut sejarah apa yang mewarnai periode tertentu.
Pemikiran dapat lahir melalui
perdebatan dan dominasi pemikiran tertentu dalam sebuah konteks historis,
pemikiran yang mendominasi tersebut diberikan respon dan kembalikan dipahami
sebagai pandangan hidup. Bagi Manheim, intelektual adalah kelompok yang sangat
penting dalam suatu masyarakat, Intelektual adalah orang yang merespon keadaan
zaman dan sejarah hingga melahirkan pandangan hidup bagi masyarakatnya. Pada
hakikatnya, sosiologi pengetahuan merupakan sebuah usaha mengetahui bagaimana
lahirnya sebuah pemikiran yang dilahirkan melalui konteks dan dinamika historis
yang terkait dengan konteks sosial masyarakat.
- Pembahasan
1.
Gagasan
Tentang Relasi Negara dan Agama Ahmad Syafii Maarif
Pandangan Buya Syafii tentang pola hubungan antara
negara dan agama secara garis besar bukan sekedar pola hubungan dikotomis yang
saling meniadakan. Pola hubungan Islam dan negara adalah dimana Islam bukan
semata-mata sebagai ritual peribadatan hamba kepada tuhannya saja, tetapi lebih
dari itu Islam menyangkut hal-hal tentang bagaimana kaedah-kaedah, batas-batas
dalam muamalah dan bersosial dalam masyarakat. Sejalan dengan pemikiran
tersebut maka Buya Syafii menginginkan supaya aturan-aturan dan patokan-patokan
tersebut dapat terjaga dan direalisasikan maka harus ada negara atau kekuasaan politik yang melindunginya. Buya Syafii dengan cermat
memahami antara Al-Qur’an dan karier Muhammad selama kerasulannya mengatakan
bahwa wawasan kekuasaan dalam Islam harus disinari oleh wawasan moral sebagai
salah satu indikator iman dalam konteks dan realitas sosial. Realitas sejarah
telah menunjukkan kepada kita bagaimana Islam dalam berbagai periode dan
diberbagai negara seringkali mengkhianati cita-cita politik Islam itu sendiri,
hanya karena alasan yang dicari-cari, tetapi cita-cita politik Islam tersebut
tidak akan lenyap dari pemikiran para pemikir-pemikir Muslim.
Menurut pemahaman Buya Syafii Islam bukanlah hanya
cita-cita moral dan nasehat-nasehat agama yang dapat lepas begitu saja, tetapi
Islam memerlukan sarana untuk mewujudkan cita-cita moralnya yang meliputi
seluruh dimensi kehidupan manusia. Di mata Al-Qur’an tidak sedikitpun dari
dimensi kehidupan manusia yang terlepas dari sorotan wahyu, dengan demikian
jika ada pemikir muslim yang berpendapat bahwa Islam dan negara harus
dipisahkan maka pendapat tersebut tidak memiliki landasan teoritis yang kuat,
bahkan dalam jangka yang lebih panjang akan mengakibatkan pada kerja bunuh
diri. Dalam pandangan Buya Syafii, tidak ada pemisahan antara negara dan agama
adalah berdasarkan Al-Qur’an, dalam Q.S Al-An’am: 162 menegaskan “Katakanlah,
sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup matiku, adalah untuk Allah, pemelihara
alam semesta. Dari ayat ini shalat di masjid, jualan di pasar, pidato dalam
parlemen tidak dapat ditempatkan dalam kategori dikotomis antara ibadah dan
kerja sekuler, shalat dimasjid adalah ibadah, sedangkan pidato dalam parlemen
merupakan juga kerja sekuler yang harus berada dibawah wawasan moral dan etika
Al-Qur’an. Al-Qur’an sangat banyak membicarakan tentang sebuah mesin kekuasaan,
yang dimaksud dengan mesin kekuasaan disini adalah sebuah Negara yang berfungsi sebagai alat pemaksa terhadap
anggota masyarakat agar mematuhi undang-undang yang telah ditetapkan oleh
lembaga yang berwenang. Tetapi Buya Syafii juga menolak pendapat yang
mengatakan bahwa Islam adalah negara dan agama, dalam pandangannya negara
adalah sesuatu yang mutable (berubah)
sesuai dengan tuntutan ruang dan waktu, sedangkan agama merupakan sesuatu yang immutable (tetap) tidak lekang oleh
ruang dan waktu.
Buya Syafii menolak adanya gagasan tentang negara
Islam, menurutnya gagasan tentang negara Islam tidak memiliki basis
religio-intelektual yang kukuh. Piagam Madinah yang merupakan hasil karya
Rasulullah tidak menyingung sama sekali masalah negara Islam, sehingga Buya
Syafii menganggap bahwa fenomena Negara Islam merupakan fenomena abad 20.
Tetapi juga tidak dapat diabaikan bahwa Islam membutuhkan sebuah mesin pemaksa
dalam bentuk negara dengan kekuasaan politik untuk membumikan cita-cita dan
ajaran moral yang terdapat dalam Al-Qur’an. Posisi nabi Muhammad dalam
Al-Qur’an hanyalah sebagai seorang rasul, tetapi juga tidak dapat dipungkiri
dalam perjalanan sejarah Nabi Muhammad pernah menjabat sebagai pemimpin negara
sekaligus sebagai pemimpin agama. Posisi sebagai Rasullullah tidak pernah
berubah hingga beliau wafat pada 632 M, kedududkan nabi muhammad sebagai rasul
ini termaktub dalam Ali-Imron: 144 “Muhammad hanyalah seorang Rasul”. Ayat
inilah yang kemudian digunakan oleh Buya Syafii untuk menolak statement bahwa
Islam adalah agama dan negara, bagi Buya Syafii statement ini akan mengaburkan
hakikat yang sebenarnya dari posisi kenabian Muhammad SAW. Nabi Muhammad SAW
tidak pernah mendeklarasikan dirinya sebagai penguasa dan juga tidak pernah
mendeklarasikan sistem dan bentuk pemerintahan yang baku, yang harus diikuti
oleh umat Islam. Kenyataan ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad adalah pemimpin
yang visioner, beliau paham betul bahwa masyarakat muslim adalah masyarakat
yang dinamis dan pluralis, apabila hanya ada satu bentuk pemerintahan yang
harus di amini oleh seluruh umat Islam maka secara politis akan menyulitkan
negara tersebut. Sehingga sekalipun Buya Syafii menyerukan akan pentingnya
negara dalam Islam, tetapi dia menolak pandangan yang mengatakan bahwa Islam
adalah daulah (negara) dan din (agama). Pandangan Buya Syafii
tentang relasi negara dan agama bertentangan dengan pendapat dari para
pengusung negara Islam dengan melakukan formalisasi syariat Islam menjadi hukum
negara, bagi kelompok ini Islam merupakan agama sekaligus negara merupakan
perintah dari Tuhan yang wajib dilakukan dan dilaksanakan sebagai amal shaleh.
Mekanisme politik yang beragam dapat kita lihat dari
sejarah kepemimpinan Khulafa ar-Rasyidin,
pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW umat Islam mengalami yang namanya krisis
kepemimpinan, dalam penjelasan Fazlur Rahman sebagaimana di kutip Buya Syafii
mengalami krisis konstitusional[14].
Umat Islam mengalami kebingungan karena Nabi Muhammad SAW tidak meninggalkan
pesan apapun tentang siapa yang akan menggantikan beliau, sehingga atas
konsensus para petinggi Islam di Banu Sa’idah, maka ditunjuklah Abu Bakar
sebagai pengganti Nabi Muhammad. Pertemuan yang terjadi di Banu Sa’idah dalam
pandangan Buya Syafii menjadi titik
tolak yang amat penting bagi perjalanan politik Islam, pertemuan tersebut dapat
dikatakan sebagai pelaksanaan syura pertama oleh umat Islam pasca wafatnya Nabi
Muhammad. Pengangkatan Abu Bakar sebagai pengganti Rasulullah menuai
perselisihan antara umat Islam, antara kubu yang mendukung Ali Bin Abi Thalib
dan yang tetap mendukung Abu Bakar sebagai Khalifah. Ali dan kelompoknya
mengklaim bahwa yang berhak menggantikan Rasulullah adalah keluarga terdekat
Nabi sendiri, tetapi karena berbagai alasan politik maka Ali disingkirkan dari
percaturan politik dan Abu Bakar tetap terpilih secara aklamasi menjadi
Khalifah pertama pengganti Nabi Muhammad. Sepeninggal Abu Bakar kepemimpinan
dipegang oleh Umar Bin Khattab melalui wasiat yang diberikan Abu Bakar, pasca
Umar Bin Khattab lengser, jabatan khalifah diberikan kepada Utsman Bin Affan
melalui tim formatur yang diprakarsai Umar. Sepeninggal wafatnya Utsman,
kepemimpinan dilanjutkan oleh Ali Bin Abi Thalib melalui aklamasi,
ketidakbakuan sistem kepemimpinan pada masa khalifah menandakan bahwa sistem
khalifah muncul untuk merespons kondisi sosio-kultural pada waktu itu. Pasca
periode Khulafa ar-rasyidin, terjadi transformasi yang sangat mendasar dalam
sistem politik pada periode Bani Umayyah dan Bani Abasiyyah, berbeda dengan
periode sahabat, sistem khalifah pada periode ini dijalankan secara dinasti
atau kekeluargaan dan berlangsung hingga Bani Usmaniyyah. Sistem khilafah
Islamiyah sempat eksis dan berkuasa selama kurang lebih 13 abad lamanya,
terhitung sejak masa khulafa ar-râsyidîn pada 632 M hingga masa Turki
Utsmani yang berakhir pada tahun 1924 M. Rentang waktu selama itu, tak dapat
dipungkiri sistem khilafah pernah menjadi kekuatan politik, ekonomi, dan
militer yang dominan. Kalangan yang menginginkan formalisasi syariat Islam
sering mengklaim bahwa model pemerintahan tersebut sebagai model yang harus
diadopsi oleh umat Islam, kesuksesan pada masa khilafah inilah yang melatar
belakangi sebagian umat Islam untuk mendirikan negara Islam.
Rekam sejarah perjalanan Islam Indonesia, ada sebagian
kalangan yang menginginkan Islam sebagai dasar negara Indonesia dengan alasan
bahwa mayoritas penduduk Indonesia adalah Muslim. Tokoh Islam Indonesia yang
dengan sangat getol menginginkan
Indonesia sebagai negara Islam adalah Muhammad Natsir dengan pemikiran
persatuan negara dan agama. Dalam pidatonya didepan Majelis Konstituante,
Natsir menginginkan Islam sebagai dasar negara karena penduduk Indonesia
mayoritas adalah Muslim, Natsir berdalil bahwa untuk dasar negara Indonesia
hanya mempunyai dua pilihan yakni paham sekularisme (la diniyyah) dan paham agama (dini)[15].
Bagi Natsir, negara sebagai kekuatan dunia merupakan sesuatu yang mutlak dalam
Al-Qur’an dan hanya dengan kekuasaan politik (negara) aturan-aturan dan
ajaran-ajaran Islam dapat terimplementasikan dalam kehidupan nyata, maka dari
itu Natsir membela prinsip persatuan negara dan agama. Menurut Buya Syafii,
aspirasi dari para tokoh Islam Indonesia di masa kemerdekaan untuk mendirikan negara Islam apabila dikaji
secara mendalam tidak memiliki tujuan yang jelas aspirasi Islam yang
diperjuangkannya. Bagi Buya Syafii bukan sesuatu yang mudah untuk menempatkan
Syariat Islam ke dalam mekanisme kehidupan politik modern, Ia mencontohkan
negara Pakistan sebagai negara Islam yang hingga sampai saat ini masih bingung
untuk menerapkan Syariat Islam dalam kehidupan kenegaraannya. Dalam konteks
ini, Buya Syafii mengkritik para tokoh Islam masa lampau yang menurutnya lebih
mengutamakan wadah, yaitu menegakkan negara berdasarkan Islam secara formal.
Menurut Buya Syafii Islam tidak mempermasalahkan
apapun nama dan bentuk pemerintahan yang dipakai oleh pemimpin Islam, yang terpenting
adalah bagaimana moral-etik dapat berjalan dengan baik dalam sebuah negara
tersebut. Dalam hal ini Buya Syafii memandang Al-Qur’an petunjuk etik bagi
manusia dan bukanlah sebuah kitab ilmu politik, institusi-institusi
sosio-politik dan organisasi manusia senantiasa berubah dari zaman ke zaman.
Diamnya Al-Qur’an dalam masalah sistem pemerintahan mana yang harus digunakan
oleh umat Islam, merupakan suatu jaminan yang sangat luas bagi manusia untuk
menggunakan akalnya dalam memilih sistem pemerintahan yang tepat untuk umat
Islam itu sendiri. Tujuan terpenting Al-Qur’an dan juga Islam adalah supaya
nilai-nilai dan perintah-perintah etiknya dijunjung tinggi serta bersifat
mengikat terhadap kegiatan-kegiatan sosio-politik umat Islam. Nilai-nilai
tersebut secara menyeluruh dan integral dengan prinsip-prinsip keadilan,
persamaan, dan kemerdekaan yang kesemuanya itu menempati posisi sentral dalam
ajaran moral Al-Qur’an.
Al-Qur’an sebagai petunjuk bagi umat manusia menurut
Buya Syafii memberikan suatu pondasi yang kukuh dan tidak berubah bagi semua
prinsip etika dan moral bagi kehidupan ini. Al-Qur’an memposisikan kehidupan
manusia sebagai sebuah keseluruhan yang terintegrasi dan harus mendapatkan
bimbingan berupa etika dan moral yang terdapat dalam ayat-ayatnya. Agar dapat
merealisasikan ajaran Islam maka dibutuhkan negara sebagai penyokong agama,
bagi Buya Syafii negara merupakan alat yang sangat penting bagi agama, tetapi
Buya Syafii menolak untuk menjadikan Islam sebagai dasar negara. Aspirasi
politik umat Islam hendaknya tidak menginginkan untuk menjadikan Islam sebagai
dasar negara dan memformalisasi syariat Islam, akan tetapi umat Islam harus
menjalankan kehidupan atas dasar kebersamaan dan musyawarah (syura). Prinsip syura sejalan dengan ajaran Al-Qur’an yang menghendaki tercipatanya
masyarakat yang egaliter dengan menjalankan mekanisme syura, dalam pandangan Buya Syafii prinsip dasar yang paling pokok
adalah konsep syura yang menjadi cita-cita sentral dalam cita-cita politik
Al-Qur’an. Buya Syafii mengatakan bahwa syura
sangat dekat dengan sistem demokrasi, sehingga dapat dikatakan bahwa syura merupakan demokrasi khas Islam.
Buya Syafii menyadari bahwa di era modern ini tidaklah
mudah untuk menemukan sebuah model negara yang menerapkan prinsip egaliter dan
syura diantara negar-negara yang menyebut dirinya sebagai negara berdasarkan
Islam. Menurut Buya Syafii negara-negara Islam pada saat ini telah menyimpang
dari ajaran Al-Qur’an, selain Pakistan Buya Syafii mencontohkan Iran sebagai
negara Islam, negara republik Islam Iran pada awalnya diperkirakan dapat
menjadi model negara Islam, tetapi pada kenyataannya tidak berhasil. Pola
kehidupan di Iran yang sangat elitis dan kekuasaan di Iran tersentral pada para
penguasa politik dengan mengabaikan prinsip syura (demokrasi) membuat banyak
pihak kecewa. Buya Syafii juga menyesalkan sikap dari para ahli hukum Islam dan
beberapa negara muslim yang masih sistem politik monarkhi adalah sistem politik
Islam, maka dari itu wajib dipertahankan.
Pandangan politik Buya Syafii lebih menekankan pada
nilai-nilai substantif Islam seperti kesejahteraan, persamaan, keadilan,
kebebasan dan seterusnya daripada melakukan formalisasi hukum Islam sebagai
dasar negara. Bagi Buya Syafii negara dengan segala atribut yang disandangnya bukan
masalah yang fundamental dalam Islam, dengan kata lain apapun bentuk negaranya
bukan menjadi hal yang penting, yang terpenting adalah pemerintah negara
tersebut mampu mewujudkan kemaslahatan, keadilan, kebebasan dan nilai-nilai
substansial lainnya bagi masyarakat. Kekuasaan Islam harus dibangun atas dasar
landasan etik-moral, menurut Buya Syafii kekuasaan semestinya menjadi kendaraan
moral atau alat moral yang efektif bagi
tegaknya moral, tetapi sekarang yang terjadi adalah banyak negara agama atau
moral yang dijadikan kendaraan untuk mencapai kekuasaan. Dalam landasan prinsip
moral inilah Buya Syafii berpedoman bahwa prinsip-prinsip Islam akan menjadi
tegak, selain itu buya Syafii sangat mengecam para elit yang sering membawa
nama Islam, tetapi perilakunya sangat jauh dari perilaku yang mencerminkan
sebagai seorang muslim.
2.
Latar
Belakang Pemikiran Politik Ahmad Syafii Maarif
Ahmad
Syafii Maarif menjalani kehidupannya sebagai seorang anak desa yang hidup dalam
serba kekurangan. Cita-cita yang muncul di kepala hanya bagaimana caranya untuk
dapat melakukan mobilitas vertikal dengan berbagai macam cara, Muhammadiyah
sebagai institusi pendidikan modern Islam begitu diterima di Sumatera Barat
yang pada dasarnya memiliki haluan Islam yang sama. Kultur Minangkabau di
desain untuk berubah, sangat lentur dan mau mengakui segala yang asing dari
dirinya karena memang bukan autentisitas kebudayaan lokal sebagai basis
nilainya tetapi transformasi. Buya Syafii melakukan sebuah mobilisasi geografis
ke Yogyakarta, langkah ini merupakan sebuah kewajaran bagi orang Minagkabau
karena melihat bergerak ke luar strukturnya adalah sebuah mobilisasi vertikal.
Muhammadiyah yang terlibat sebagai anggota istimewa dari partai Masyumi menjadi
sebuah model yang dominan dalam pemikiran Buya Syafii, Muhammadiyah yang begitu
aktual dalam hidup Buya Syafii akan selalu di ikuti kemanapun afiliasinya.
Posisi Islam secara ekonomi dan
politis begitu tidak berdaya pada masa Orde Baru, akan tetapi Islam dapat
tempat dalam birokrasi kenegaraan begitu juga posisi Ahmad Syafii Maarif adalah
sebagai pegawai Negeri yang diangkat pada masa Orde Baru. Posisinya sebagai
pengajar jurusan Sejarah Universitas Negeri Yogyakarta dan PNS (Pegawai Negeri
Sipil) tidak lepas dari kontribusi Muhammadiyah yang memberikan pendidikan
dengan basis modern hingga watak developmentalis Orde Baru begitu dekat dengan
ide-ide Muhammadiyah. Ahmad Syafii Maarif berangkat ke Ohio University di
Athens, dimana pada fase ini Buya Syafii semakin meyakini cita-cita mendirikan
negara Islam dan penolakan mentah-mentah terhadap sekularisme yang sudah ia
kagumi sejak usia muda. Nama-nama seperti Muhammad Iqbal, Khaled Abou el Fadl,
Maududi, Taymiah, Afghani, Qutb menjadi ruh penasaran yang selalu membayangi
pemikirannya.
Ahmad Syafii Maarif pindah ke
Universitas Chicago dengan obsesi dan kekecewaan yang mendalam akibat
dibubarkannya Masyumi. Pertemuannya dengan Fazlur Rahman mengubah berbagai
pandangan Buya Syafii Maarif. Dengan kemampuan Rahman, Buya Syafii ketepatan
Rahman dalam kembali kepada Al-Qur’an dan mengkonstruksinya menjadi sebuah
pedoman etis dan moral dengan pikiran yang adil, tanpa ada rasa dendam politis.
Fazlur Rahman masih meyakini bahwa Negara Islam adalah sesuatu yang sangat
penting, tetapi tidak begitu dengan Buya Syafii, sebuah mobilitas vertikal
dalam pemikiran yang sangat radikal dan diikuti oleh mobilitas vertikal dalam
kehidupan Ahmad Syafii Maarif. Buya Syafii dapat hidup dari bekerja dengan
orang yang tidak pernah mengenal Al-Qur’an, namun begitu hidupnya begitu sangat
toleran tidak seperti yang terjadi di Pakistan yang mendasarkan konstitusinya
pada Islam selalu di hiasi oleh perang suku dan bom bunuh diri.
Ahmad
Syafii Maarif sekembalinya dari Chicago dan menetap di Indonesia bergabung
kembali dengan Muhammadiyah, ini merupakan fase awal dari perjalanan
intelektual Buya Syafii pasca Chicago. Buya Syafii masuk dalam dunia
pertentangan dakwah Muhammadiyah antara golongan teologi puritan dan golongan
intelektual hasil didikan Barat. Intelektual yang berlatar belakang barat
dibawa oleh Amien Rais sedangkan para ulama puritan yang sudah lama eksis dalam
Muhammadiyah dan memiliki image sebagai
kelompok Muslim yang puritan. Buya Syafii mendapatkan kesulitan dalam
mendamaikan pertentangan yang ada dalam tubuh Muhammadiyah tersebut, karena
cita-cita Islam yang ia usung sangat universal. Hal ini merupakan hal yang
sangat sulit untuk dapat diterima dalam tubuh Muhammadiyah yang berada dalam image eksklusifnya yang telah
bertahun-tahun menghinggapi pergerakan Muhammadiyah. Ahmad Syafii Maarif
benar-benar dapat membumikan pemikirannya pada saat setelah ia selesai menjabat
sebagai Ketua Umum Muhammadiyah, dengan mendirikan Maarif Institute maka Buya
Syafii melakukan hubungan lintas agama yang menjadi fokus utama dalam membangun
masyarakat yang demokratis dan egaliter.
Ahmad Syafii Maarif melakukan
penafsiran yang universal dari ajaran-ajaran Al-Qur’an hingga semangat moralnya
dapat diterima oleh berbagai kelompok dan juga agama. Visi pluralism baginya
adalah sebuah keadaan dimana setiap orang dapat hidup bersama tnpa ketakutan,
oleh karena itu Buya Syafii ingin menafsirkan ajaran Islam sebagai kelompok
yang mayoritas menjadi sesuatu yang universal agar dapat diterima dalam
kelompok sekecil apapun. Dalam pandangan Buya Syafii negara Islam adalah sebuah
konsep yang akan menghasilkan ketakutan bagi kelompok minoritas karena
semangatnya sangat partikular, sehingga menimbulkan ketakutan bagi yang
minoritas terhadap ide tersebut. Buya Syafii mengkonstruksi Islam sebagai
ajaran yang universal, tokoh agama lain pun juga memposisikan agama seperti
itu, dimana mereka juga mengkonstruksi ajarannya sebagai sebuah universal.
Mereka menganggap dengan cara menjunjung tinggi penguniversalan lewat ide
kemanusiaan dan demokrasi akan mempertegas nilai keagamaan mereka. Agama
sebagai sebuah jalan untuk menyelesaikan persoalan, tidak seperti yang
dituduhkan oleh kelompok sekuler yang memposisikan agama sebagai sumber
konflik, agama bisa mengatakan bahwa merekalah yang aktual dalam kekacauan yang
diciptakan sekulerisme. Ahmad Syafii Maarif menentang adanya ketidak adilan
negara adalah sebuah perjalanan untuk semakin menghayati Islam, bukan hanya
sebagai seorang yang menjunjung keadilan dan demokrasi. Selain itu yang menjadi
kelebihan dari Buya Syafii adalah Ia menjadi seorang agen yang pemikirannya
dapat diterima sebagai produk pemikiran Islam. Melalui mobilisasi dalam hal
pendidikan, Buya Syafii memiliki pandangan yang dibangun oleh kultur akademisi
yang penuh dengan pertanyaan terhadap suatu keyakinan dan memproduksi
gagasan-gagasan yang lebih produktif dan bervariatif terhadap persoalan yang
begitu dekat dengan masyarakat.
- Kesimpulan
Ahmad
Syafii Maarif adalah seorang Intelektual Muslim yang menggunakan semangat moral
Islam, dalam hal ini kalimat tersebut merupakan sebuah kesimpulan umum mengenai
semua pemikiran Islam dari Ahmad Syafii Maarif. Dalam pandangan Ahmad Syafii
Maarif Islam dapat dijadikan petunjuk moral bagi semua masyarakat Indonesia
dalam membangun kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Penjelasan ini merupakan
sebuah hasil dari pergumulan Ahmad Syafii Maarif dengan sejarah, yang menjadi study-nya dan telah membuatnya dapat
melakukan mobilitas yang sangat radikal dalam pemikiran Islam. Penempatan diri
dari Buya Syafii dapat terus berubah-ubah sebagai sebuah hasil dari
perkembangan pengetahuan hasil berdialog dengan sejarah, hal ini dapat kita
lihat dari berubahnya seorang Ahmad Syafii Maarif dari seorang yang
fundamentalis menjadi seorang Islam yang terbuka, atau dalam bahasa Buya Syafii
sebagai Muslim yang inklusif dan pluralis. Selain itu dapat juga kita lihat
bagaimana cita-cita yang awalnya menginginkan untuk terselenggaranya negara
Islam nan megah menjadi seorang pembela demokrasi dan Pancasila sebagai sebuah
ajaran moral bagi manusia Indonesia. Dalam bahasa singkatnya Ahmad Syafii
Maarif dalam hal pemikiran negara dan agama mengalami transformasi pemikiran
yang sangat kontras, dari syariat oriented
pemikiran Moh. Natsir menjadi seorang sosial-demokrat yang menjadi
orientasi dari Muhammad Hatta.
- Daftar Pustaka
Al Banna,
Gamal. 2006. Relasi Negara dan Agama.
Jakarta : Mata Air Publishing.
An-Naim, Abdullahi Ahmad. 2007. Islam dan Negara Sekuler; Karakter Negara
Modern. Bandung: Mizan.
Black, Antony. 2006. Pemikiran Politik Islam Dari Masa Nabi
Hingga Masa Kini. Jakarta : PT Serambi Ilmu Semesta.
Budiardjo, Miriam. 2004. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Departemen Agama RI. 1989. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta:
Yayasan Penyelenggara Penterjemahan Departemen Agama.
Donohue, John J dan John L. Esposito.
1993. Islam dan Pembaharuan : Ensiklopedi
masalah-masalah. Jakarta: citra niaga Rajawali Pres. Cet.III.
Maarif,
Ahmad Syafii. 2006. Islam dan Pancasila
sebagai Dasar Negara Studi tentang Perdebatan dalam Konstituante. Jakarta :
Pustaka LP3ES.
Maarif,
Ahmad Syafii. 2009. Islam dalam Bingkai
Keindonesiaan dan Kemanusiaan Sebuah Refleksi Sejarah. Bandung : PT Mizan
Pustaka.
Maarif,
Ahmad Syafii. 1994. Peta Bumi
Intelektualisme Islam di Indonesia. Bandung : PT Mizan Pustaka.
Maarif,
Ahmad Syafii. 1995. Membumikan Islam.
Yogyakarta : Pustaka Belajar.
Maarif,
Ahmad Syafii. 1996. Islam dan Politik
Teori Belah Bambu Masa Demokrasi Terpimpin (1959-1965). Jakarta : Gema
Insani Press.
Maarif,
Ahmad Syafii. 2009. Titik-titik Kisar di
Perjalananku Autobiografi Ahmad Syafii Maarif . Bandung : PT Mizan Pustaka.
Maarif, Ahmad
Syafii. 1985. Islam dan Masalah Kenegaraan: Studi tentang Percaturan dalam
Konstituante. Jakarta: LP3ES.
Manheim, Karl.
1936. Ideology and Utopia. USA :
Harvest Book.
Mardjono,
Hartono. 1995. Menegakkan Syari’at Islam
Dalam Konteks Ke Indonesiaan: Proses Penerapan Nilai-Nilai Islam dalam Aspek
Hukum, Politik dan Lembaga Negara. Bandung : Penerbit Mizan.
Mars, David dan Gerry Stoker. 2010. Teori dan metode dalam ilmu politik.
Bandung : Nusa Media
Maududi, Abul A’la. 1993. Teori Politik Islam, dalam buku Islam dan Pembaharuan Ensiklopedi
Masalah-masalah oleh John J. Donohue dan John L. Esposito, Cet. III.
Jakarta : citra niaga Rajawali Pers.
[1]Nurcholis Madjid, kata pengantar dalam Ahmad Syafi’i Ma’arif, Islam dan Masalah Kenegaraan, Study
Tentang Percaturan dalam Konstituante.(Jakarta: LP3ES,1985), hlm.IX
[2]Nurcholish Madjid , Islam dan Politik Suatu Tinjauan atas
Prinsip-Prinsip Hukum dan Keadilan,dalam jurnal politik islam paramadina (elite-ebook/media.isnet.org/islam/Paramadina/Jurnal/Politik
N. html (1 of 8)13/05/2006 15:13:43)
[3]Azyumardi
Azra, Reposisi Hubungan Negara dan Agama
Merajut Hubungan Antar Umat. (Jakarta : Buku Kompas.2002. ) hlm 34-35
[4]Douglas E. Ramage, Percaturan
Politik di Indonesia: Demokrasi, Islam, dan Ideologi Toleransi, alih bahasa Hartono Hadikusumo, (cet. ke-1.
Jogjakarta: Mata Bangsa, 2002), hlm. 2
[5]Ahmad
Syafii Maarif, Islam dalam Bingkai
Keindonesiaan dan Kemanusiaan, Sebuah Refleksi Sejarah (Cet.I, Bandung : PT
Mizan Pustaka), hlm. 15
[6]
Ahmad
Syafii Maarif, Islam dan Masalah..., loc.cit .hal. 20.
[7] Abul A’la Maududi, Teori Politik
Islam dalam Islam dan Pembaharuan
Ensiklopedi Masalah-masalah oleh John J. Donohue dan John L. Esposito, Cet.
III. (Jakarta : citra niaga Rajawali Pers, 1993) hlm. 465
[8] Ibid. hlm 466
[9] Ibid. hlm 468-469
[10] Q.S. 57:25
[11] Abul A’la Maududi, Teori Politik Islam. Loc cit. 472
[12]Ibid.
[14] Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila..... loc.cit, hlm 19
[15] Ahmad Syafii Maarif, Islam
dan Masalah…, loc.cit hal. 129.
Komentar